Rabu, 11 November 2015

Uang Dalam Pandangan Ekonom Muslim




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ekonomi makro atau makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara keseluruhan. Makro ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Pengantar ilmu ekonomi makro islam mempelajari variabel-variabel ekonomi secara agregat (keseluruhan) dan tak lepas dari syariat- syariat islam. Seperti bahasan tentang sejarah ekonomi makro, konsep sumber daya dalam ekonomi islam, analisis kegiatan ekonomi klasik keynes dan masa kini, uang dalam ekonomi islam, pandangan para ekonom muslim tentang uang, dan lain- lain.
B.     Rumusan Masalah
Sebelum lebih jauh mempelajari ekonomi makro, lebih baiknya kita mengetahui sebagai berikut :
1.      Uang Menurut Al- Ghazali
2.      Uang Menurut Ibnu Taimiyah

C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pandangan para ekonom islam tentang evolusi dan fungsi uang, yang ditekankan pada pandangan Al- Ghazali dan Ibnu Taimiyah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      PEMIKIRAN AL- GHAZALI TENTANG UANG
a.         Evolusi Uang dan Fungsi Uang
Pembahasan Al-Ghazali tentang uang nampak cukup komprehensif, yang dimulai dari evolusi uang hingga fungsi uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu perdagangan barter.
            Perdagangan barter mengandung banyak kelemahan diantaranya;
1.         Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator),
2.         Barang yang diperdagangkan sulit untuk dibagi-bagi (indivisibility of goods),
3.         Keharusan adanya dua keinginan yang sama antara penjual dan pembeli (double coincidence of wants).
Dengan berbagai keterbatasan barter tersebut, maka diperlukan suatu alat yang mampu berperan lebih baik dalam transaksi jual beli. Itulah yang menurutnya mendasari munculnya kebutuhan akan uang dimasyarakat. Uang berfungsi memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dalam pertukaran tersebut. Al-Ghazali mengisyaratkan bahwa uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai harga komoditas dan jasa. Kemudian uang juga sebagai alat yang berfungsi sebagai penengah antara kepentingan penjual dan pembeli, yang membantu kelancaran proses pertukaran komoditas dan jasa.



Ia menegaskan bahwa evolusi uang terjadi karena kesepakatan dan kebiasaan yang berlaku dimasyarakat, yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila terdapat ukuran yang sama. Hal tersebut seperti dalam paparan Al-Ghazali berikut ini:
Termasuk nikmat Allah SWT. Diciptakan dirham dan dinar. Dengan keduanya kehidupan menjadi lurus. Keduanya hanyalah dua barang tambang yang tidak ada manfaat pada bendanya, tapi makhluk perlu kepadanya sekiranya setiap manusia membutuhkan banyak barang yang berkaitan dengan makanan, pakaian, seluruh kebutuhan nya. Seperti orang yang memiliki za’faran, dan ia membutuhkan unta sebagai tunggangan nya. Dan orang yang memiliki unta dapat saja tidak membutuhkannya dan membutuhkan za’faran sehingga terjadi pertukaran antar keduanya.
Al- Ghazali menekankan bahwa uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Artinya, uang dibutuhkan masyarakat bukan karena masyarakat menginginkan mempunyai emas dan perak yang merupakan bahan uang tersebut, tetapi kebutuhan tersebut lebih pada menggunakan uang sebagai alat tukar. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu pertukaran. Tujuan utama dari emas dan perak adaalah untuk dipergunakan sebagai uang. Uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
b.         Menimbun dan Melebur Uang
Merujuk pada Al-Qur’an, Al-Ghazali mengecam para penimbun uang yang dianggapnya sebagai penjahat.uang yang ditimbun tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat luas. Uang yang seharusnya berputar menjadi mandek pada sekelompok orang. Berikut pernyataan Al-Ghazali tentang ini:
Jika seseorang menimbun dinar dan dirham, ia berdosa. Dinar dan dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi pertukaran, sebagai simbol untuk mengetahui nilai dan kelas barang.
Siapapun yang mengubahnya menjadi peralatan-peralatan emas dan perak berarti ia tidak bersyukur kepada penciptanya, dan lebih buruk daripada penimbun uang, karena orang yang seperti itu adalah  seperti orang yang memaksa penguasa untuk melakukan fungsi-fungsi yang tidak cocok.
Kegiatan menimbun uang berarti menarik uang dari peredaran untuk sementara, artinya uang yang ditimbun tersebut masih berwujud uang dan suatu ketika dimungkinkan masih dapat beredar kembali ke masyarakat berfungsi sebagai uang. Sedangkan melebur uang berarti menarik uang dari peredaran untuk selamanya, karena wujud uang telah berubah bentuk, sehingga tidak lagi dapat berfungsi sebagi uang.
Dengan menggunakan teori kuantitas uang, Irving Fisher (1867-1947), implikasi dari adanya penimbunan uang dan peleburan uang dapat dijelaskan melalui persamaan berikut:

   MV=PT
M (Money) adalah jumlah uang beredar,
V (velocity) adalah kecepatan uang beredar,
P (Price) adalah tingkat harga produk dan
T (trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan.
Bila penimbunan uang dilakukan maka dalam persamaan diatas akan dapat menurunkan M atau V. Turunnya M atau V yang tidak diikuti dengan kenaikan pada jumlah produk yang ditransaksikan dipasar, yang berarti T tidak mengalami perubahan atau bahkan turun, maka dalam persamaan diatas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri , kenaikan M atau V akan otomatis menaikkan harga-harga produk dipasar (P).
Sedangkan aktifitas melebur uang berarti menghilangkan sejumlah uang dari peredaran untuk selamanya. Implikasinya dapat dianalisis dengan persamaan diatas, yaitu jumlah uang beredar, M akan berkurang.
Semakin sedikitnya jumlah uang beredar akan dapat menurunkan volume transaksi produk, T dipasar. Bila besarnya V tidak berubah misalnya, maka dampaknya akan sama dengan menimbun uang diatas, yaitu akan otomatis menaikan harga- harga produk dipasar (P). Cuma dampaknya akan lebih parah dibandingkan menimbun uang, karena dalam melebur uang berarti “hilangnya” uang bersifat permanen.
            c.         Pemalsuan Uang
Peredaran uang palsu, yaitu dengan kandungan emas atau perak yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah, Al-Ghazali kecam keras. Menurutnya mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri 1000 dirham. Karena mencetak dan mengedarkan uang palsu adalah dosa yang berlipat setiap kali uang itu dipergunakan. Implikasi makro beredarnya uang palsu ini juga akan dapat mendorong tingkat inflasi, karena akan menambah jumlah uang beredar dimasyarakat diluar uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Berikut ini kutipan pernyataan Al-Ghazali:
Al-Ghazali membolehkan peredaran uang yang tidak mengandung emas dan perak, asalkan pemerintah menyatakan uang tersebut sebagai alat bayar yang resmi. Kemudian secara tidak langsung Al-Ghazali membolehkan kemungkinan penggunaan uang representatif (token money).
d.         Perdagangan Uang
Al-Ghazali berpendapat bahwa aktifitas memperdagangkan dinar dan dirham sama halnya dengan memenjarakan uang, sehingga tidak lagi dapat berfungsi. Semakin banyak uang diperdagangkan, maka semakin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat tukar. sebagaimana dalam pernyataan Al-Ghazali:
Jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuan nya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.
Perdagangan uang yang mengandung spekulasi itu sangat mudah dilakukan, proses untuk sampai pada hasil sangat cepat tanpa harus bekerja keras. Dapat dibayangkan apabila kemudian lebih banyak orang yang tidak bersedia bekerja di sektor riil karena prosesnya lama dan perlu kerja keras, dan kemudian lebih menyukai berdagang uang, maka sektor riil akan terganggu. Kemampuan sektor riil untuk berproduksi semakin menurun karena pelakunya sedikit dan sulitnya mendapatkan tambahan modal dari investor. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya aktifitas perdagangan uang yang berarti mempercepat peredaran uang tersebut akan mengakibatkan harga-harga produk dipasar semakin mahal, yang berarti terjadi peningkatan inflasi. Kondisi seperti inilah yang saat ini terjadi di indonesia , dimana jumlah uang yang masuk ke sektor riil lebih kecil dibandingkan dengan jumlah uang yang ditransaksikan di pasar uang. Dengan menggunakan teori kuantitas uangnya (Irving Fisher), implikasi dari adanya perdagangan uang dapat dijelaskan melalui persamaan:

                        MV = PT.
Dimana   M (money) adalah jumlah uang beredar
                V (velocity) adalah kecepatan uang beredar
                P (price) adalah tingkat harga produk
                T (trade) nilai produk yang diperdagangkan.
Meskipun pemerintah tidak melakukan percetakan uang, yang berarti M jumlahnya tetap. Bila perdagangan mata uang dilakukan masyarakat, maka kecepatan peredaran uang akan meningkat (V akan membesar). Sementara T tidak mengalami perubahan karena semakin sedikit uang yang berputar pada sektor riil dan orang menjadi malas bekerja pada sektor riil sehingga jumlah produk berkurang, maka dalam persamaan diatas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, kenaikan V akan otomatis menaikan P. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya aktifitas perdagangan uang yang berarti mempercepat peredaran uang tersebut akan mengakibatkan harga- harga produk di pasar semakin mahal, yang berarti terjadi peningkatan inflasi.
2.2.      PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH TENTANG UANG
a.         Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang Ibn Taimiyah ungkapkan berikut ini:
Sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Ibnu Taimiyah, menunjukkan bahwa ia menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, yaitu:
1.         Uang tidak punya kepuasan intrinsik yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung.
2.         Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak.
3.         Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi disatu pihak  membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar dikemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandanga Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah SAW melarang jenis transaksi seperti ini.
b.         Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi.
 Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan uang. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan uang digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan sultan kitbugha dan sultan Dzahir Barquq untuk mencetak uang dalam jumlah sangat besardengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun.
Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar dimasyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Menurutnya nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat dipasar sehingga tidak seorangpun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkan nya dalam peredaran mata uang. Melalui teori kuantitas uangnya (irving fisher) diatas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan:   MV=PT
Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar dimasyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan diatas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
c.         Implikasi Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha menetapkan bahwa nilai uang ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan uang dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah.
 Ditengah penggunaan uang secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga produk. Dampak pemberlakuan uang sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga.
Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu Taimiyah menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa berlaku suatu mata uang yang sedang berada ditangan masyarakat. Ketika pemerintah menyatakan tidak berlaku  lagi atas mata uang yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai mata uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nomina yang lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi serta pemalsuan uang. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ni akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Karena setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti masyarakat menjadi semakin miskin.
Dibagian akhir pernyataan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang uang dari kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang kebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan diatas, bahwa 1 dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi 1/3 perak dan 2//3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang dinar dan dirham lama termotifasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Akibatnya, peredaran dinar sangat terbatas, dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara uang beredar secara luas. Banyaknya uang yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang dirham mengakibatkan sistem moneter pada saat itu tidak stabil.
Lebih jauh Ibnu Taimiyah menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara (baitul mal). Pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya. 








BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pembahasan Al-Ghazali tentang uang nampak cukup komprehensif, yang dimulai dari evolusi uang hingga fungsi uang. Menurut Al-Ghazali : “  Jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham.  Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Karena Dinar dan dirham adalah alat tukar untuk mendapatkan barang-barang lainnya.
Menurut Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang  Uang, Sebagaimana yang diungkapkan oleh beliau : “Menunjukkan bahwa ia menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Terdapat sejumlah alasan, karena uang dalam islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas. Dibagian akhir pernyataan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang uang dari kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang kebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda.  Lalu beliau (Ibnu Taimiyah) menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage).
Saran
Sesuai dengan kesimpulan diatas, Penulis menyarankan setiap teman-teman dapat memahami konsep ‘’Uang Dalam Pandangan Para Ekonom Muslim’’.
           

DAFTAR PUSTAKA
Buku Naf’an tentang Ekonomi Makro dalam tinjauan ekonomi syariah
Ahmad Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005.
Al-Ghazali, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja Grafindo Persada, 2005
An-Nabhani, Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 2000.

Perbedaan Makro Konvensional dan Makro Islam

Perbedaan Makro Konvensional dan Makro Islam
  -Makro Konvensional adalah ilmu yang membahas masalah demi masalah secara global, tanpa melihat kembali manfaat dan tujuan untuk kesejahteraan rakyatnya.
  -Makro Islam adalah ilmu yang mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia dan akhirat. sumber utamanya melalui al qur'an dan sunnah, sedangkan makro konvensional hanya berdasarkan pada hal-hal yang bersifat posotivisme

Perbedaan Ekonomi Mikro Islam dan Ekonomi Makro Islam

 
Perbedaan Mikro Ekonomi Islam Dan Makro Ekonomi Islam
   -Mikro Ekonomi Islam adalah ilmu yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah keputusan diambil oleh setiap unit ekonomi dengan memasukkan batasan-batasan syariah sebagai variabel yang utama.
  -Makro Ekonomi Islam adalah ilmu yang membahas permasalahan kebijakan ekonomi secara makro, berupa pengelolaan dan pengendalian, sesuai dengan ajaran islam yang bersumber dari al qur'an dan as sunnah.

Selasa, 03 November 2015

SIUP dan TDP



Pengertian SIUP

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan.
 Merupakan surat izin yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk kepada pengusaha untuk melaksanakan kegiatan usaha dibidang perdagangan dan jasa. Surat izin usaha perdagangan (SIUP) diberikan kepada para pengusaha, baik perseorangan, firma, CV, PT, koperasi, maupun BUMN.
   Kewajiban pemegang SIUP yaitu melaporkan kepada kepala kantor wilayah Departemen Perdagangan dan Industri atau kantor Departemen Perdagangan yang menerbitkan SIUP apabila perusahaan tidak melakukan lagi kegiatan perdagangan atau menutup perusahaan disertai dengan pembelian SIUP.

Tanda Daftar Perusahaan (TDP) adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Setiap perusahaan wajib memiliki Tanda Daftar Perusahaan (TDP) baik berbentuk badan hukum, koperasi, perorangan, dll.
Setiap perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), Firma (Fa), Perorangan, dan Bentuk Usaha Lainnya (BUL), termasuk Perusahaan Asing dengan status Kantor Pusat, Kantor Tunggal, Kantor Cabang, Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, Agen Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan.
Pendaftaran wajib dilakukan oleh pemilik atau pengurus perusahaan, atau dapat diwakilkan kepada orang lain dengan memberi surat kuasa.
Tanda Daftar Perusahaan berlaku selama Perusahaan tersebut masih beroperasi dan wajib didaftarkan ulang setiap 5 (lima) tahun.

Jual Beli Valuta (Mata Uang/Forex) Dalam Islam

 Valuta adalah suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasang...