BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Abad
pertengahan dalam sejarah filsafat dianggap sebagai masa ketika filsafat
mengalami kemunduran. Ini dikarenakan filsafat lebih menjadi sekadar bidang
yang tunduk kepada agama (gereja). Kondisi ini memang tidak dapat dielakkan
karena kekuatan gereja dan negara sangat besar, sehingga kebebasan berpikirpun
sangat terbatas, perkembangan sains amat sulit dan perkembangan filsafatpun
menjadi tersendat-sendat.
Berikutnya,
bergantilah pada zaman modern. Masa inilah yang ditunggu-tunggu oleh para
pemikir manakala mengingat zaman kuno ketika peradaban demikian bebas dan tidak
dikekang oleh tekanan-tekanan dari luar. Kondisi inilah yang hendak dihidupkan
kembali pada zaman modern, zaman alternatif untuk menuangkan dengan bebas
segala pemikiran. Sehingga berbagai ilmu pengetahuan mengalami perkembangan,
termasuk filsafat. Dan dalam perkembangan lebih lanjut muncullah aliran-aliran
filsafat yang menunjukkan atas semakin berkembangnya pemikiran, termasuk
positivisme dan fenomenologi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam
makalah ini, sebagaimana berikut :
1.
Apa
yang dimaksud dengan Filsafat Positivisme ?
2.
Apa
yang dimaksud dengan Filsafat Fenomenologi ?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Filsafat Idealism ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Filsafat
Positivisme
Semenjak abad ke 17 rasionalisme
Rene Descartes mencapai posisi penting dalam keilmuan manusia, pemikirannya
bahwa akalbudi yang dapat mencapai pengetahuan. Lalu empirisisme yang datang
setelahnya oleh David Hume yang mana pengetahuan kita hanya bersumber dari
pengalaman dan hanya terbatas pada dunia cerapan indra saja.
Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah positivisme oleh August Comte yang mana
ia sebagai kelanjutan dari empirisme tapi dalam bentuk yang lain yang lebih
objektif.
Istilah positivisme diperkenalkan
oleh Comte, yang berasal dari kata positif. Dalam Cours de Philosophie
Positibe, digunakan istilah “filsafat positif”. Filsafat diartikan sebagai
sistem umum tentang konsep-konsep manusia, sedangkan positif diartikan sebagai
teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.[1]
Positivisme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal
adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Titik tolak pemikirannya,
apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga
metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang
tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif.[2]
Positivisme
adalah salah satu aliran filsafat modern. Istilah Positivisme pertama kali
digunakan oleh Francis Biken seorang
filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi,
komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan
dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust
Comte dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah
tahapan-tahapan agama dan filsafat.
Jadi, pada
dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Namun,
hanya sebagai penyempurna dari Empirisme dan Rasionalisme dengan
memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Hanya saja pada empirisme
menerima pengalaman batiniah, sedangkan pada positivisme membatasi pada
perjalanan objektif saja.[3]
Tesis positivisme
adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan fakta-fakta
sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Dengan demikian
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta,
menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan
pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga
berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja
positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak
setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia
juga menolak nilai (value). Dasar dari pandangan positivistik dari ilmu sosial
budaya tersebut yakni adanya anggapan bahwa:
(a) gejala sosial
budaya merupakan bagian dari gejala alami,
(b) ilmu sosial
budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi
yang mirip dalil hukum alam,
(c) berbagai
prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang
dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive
dan explanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti.
Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun
sering kali menegaskan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan
kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Tokoh Aliran Positivisme dan Ajarannya
·
August comte
August Comte (1798-1857) lahir di
Montpellier, Prancis dari sebuah keluarga yang beragama Katolik.[4]
Pada umur belasan tahun ia menolak beberapa adat kebiasan dari keluarganya yang
katholik orthodox, yaitu kesalehan dalam agama dan dukungan terhadap bangsawan.
Ia belajar disekolah politeknik di Paris dan menerima pelajaran ilmu pasti.
Sesudah menyelesaikan sekolahnya ia mempelajari biologi dan sejarah, dan
mencari nafkah dengan memberikan les matematika. Comte bekerja sama dengan
Saint Simon untuk beberapa tahun, tetapi kemudian berselisih faham dan Comte
bekerja secara mandiri. Comte berusaha untuk memperoleh gelar professor tetapi
tidak berhasil.
Dalam The Positive Philosophy, tujuan utama Comte adalah
menelaah sejarah perkembangan ilmu serta menciptakan teori tentang tiga tahap
perkembangan masyarakat. Ia membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi
tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif.[5]
Agust Comte
berkeyakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama,
tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau
Tuhan-Tuhan; tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai
tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat
serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.
(1)
Tahap
Teologik
Tahap ini menerangkan segala-galanya
dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat.[6] Tahap teologik bersifat
antropomorfik atau melekatkan manusia kepada selain manusia seperti alam atau
apa yang ada dibaliknya. Pada zaman ini atau tahap ini seseorang mengarahkan
rohnya pada hakikat batiniah segala sesuatu, kepada sebab pertama, dan tujuan
terahir segala sesuatu.
Tahap
teologis ini dibagi menjadi tiga sub-bagian.[7]
Bermula dari fetisisme yaitu suatu faham yang mempercayai adanya kekuatan magis
dibenda-benda tertentu, ini adalah tahap teologis yang paling primitif.
Kemudian polyteisme atau mempercayai pada banyak Tuhan, saat itu orang
menurunkan hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu
kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap
kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri. Dan kemudian menjadi
monoteisme ini adalah suatu tahap tertinggi yang mana saat itu manusia
menyatukan Tuhan-Tuhannya menjadi satu tokoh tertinggi. Ini adalah abad
monarkhi dan kekuasaan mutlak.
(2) Tahap Metafisik
Tahap
metafisik sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis,
karena ketika zaman teologis manusia hanya mempercayai suatu doktrin tanpa
mempertanyakannya, hanya doktrin yang dipercayai. Dan ketika manusia mencapai
tahap metafisika ia mulai mempertanyaan dan mencoba mencari bukti-bukti yang
meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik. Tahap metafisik menggantikan
kekuatan-kekuatan abstrak atau entitas-entitas dengan manusia. Ini adalah abad
nasionalisme dan kedaulatan umum, atau abad remaja.
(3)
Tahap Positif
Tahap positif berusaha untuk
menemukan hubungan seragam dalam gejala. Pada zaman ini seseorang tahu bahwa
tiada gunanya untuk mempertanyakan atau pengetahuan yang mutlak, baik secara
teologis ataupun secara metafisika. Orang tidak mau lagi menemukan asal muasal
dan tujuan akhir alam semesta, atau melacak hakikat yang sejati dari segala
sesuatu dan dibalik sesuatu. Pada zaman ini orang berusaha untuk menemukan
hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan
fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Pada zaman ini menerangkan berarti: fakta-fakta yang
khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Segala gejala telah dapat disusun
dari suatu fakta yang umum saja.
Tiga tahap ini menurut Comte bukanlah
suatu zaman yang berlaku bagi perkembangan rohani manusia tetapi juga berlaku
bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, bahkan berlaku bagi perorangan,
ketika muda ia seorang metafisikus dan ketika dewasa ia menjadi seorang
fisikus. Ketika seorang masih perpandangan metafisikus ataupun teologis berarti
ia masih berfikiran primitif walaupun ia hidup dizaman yang modern. Dan ketika
orang berfikiran fisikus maka ia adalah seorang yang modern dimana pun ia
berada. Pendapat ini didasarkan pada kecendrungan pernyataannya yang lebih
menjurus kepada tahap dalam keyakinan manusia dari pada tahap zaman manusia.
Selain itu tahap dalam 3 zaman ini
bukan hanya berlaku dalam hal itu saja tetapi juga bias terjadi dalam ilmu
pengetahuan itu sendiri. Yang asal mulanya ketika ilmu pengetahuan masih
dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh
pemikiran-pemikiran metafisis hingga akhirnya tiba pada zaman positif yang
cerah yang mana meninggalkan bahkan melepaskan dari keberadaan unsur-unsur
teologis dan metafisika. Oleh karena itu baginya Teologi dan filsafat barat
abad tengah merupakan pemikiran primitive. Karena masih pada taraf pertanyaan
tentang teologi dan metafisis.
Baginya manusia
tidak dapat mengetahui hakikat dari segala sesuatu, tetapi manusia dapat
mengetahui keadaan-keadaan yang mempengaruhi terjadinya peristiwa.
Pengetahuan
positivisme mengandung arti sebagai pengetahuan yang nyata (real), berguna
(useful), tertentu (certain) dan pasti (extact). Kaidah kaidah alam tidak
pernah disederhanakan menjadi satu kaidah tunggal dan kaidah itu terdiri dari
perbedaan-perbedaan.
Akal dan ilmu menurutnya harus saling dihubungkan karena
ilmu yang menurutnya cerapan dari sesuatu yang positif tetaplah harus memakai
akal dalam pembandingannya, dan etika dianggap tinggi dalam hirarki ilmu-ilmu.
Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala
dan penampakan-penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh
itu semua. Segala gejala yang dapat diamati hanya akan dapat dikelompokan dalam
beberapa pengertian saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa
sehingga penelitian tiap kelompok menjadi dasar bagi penelitian kelompok
berikutnya. Sehingga terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan yang mana asal
mualanya adalah satu. Lalu terjadi dikotomi dari ilmu pengetahuan itu
berdasarkan gejala yang diamati lalu muncullah kelompok peneliti lain yang
memungkinkan dikotomi yang lain hingga mencapai gejala yang paling sederhana.
Gejala yang sederhana ini adalah gejala yang tidak memiliki kekhususan hal-hal
yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama
dalam dua hal yaitu gejala yang bersifat organis dan yang tidak bersifat
anorganis. Yang dimaksud dengan sifat organis adalah segala hal yang bersifat
makhluk hidup. Dan sifat anorganik adalah yang tidak bersifat hidup. Menurutnya
dalam mempelajari yang organis harus terlebih dahulu mempelajari hal-hal yang
bersifat anorganis, karena dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang kimiawi
dan mekanis dari alam yang anorganis, contoh: manusia yang makan, yang mana
didalamnya terdapat proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu makanan.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi
menjadi dua hal yaitu tentang astronomi, yang mempelajari segala gejala umum
yang ada dijagat raya dan tentang fisika serta kimia yang mempelajari segala
gejala umum yang terjadi dibumi. Menurutnya, pengetahuan tentang fisika harus
didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses
alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.
Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi
dua bagian yaitu: proses-proses yang berlangsung dalam individu-individu dan
proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang
diusahakan disini adalah ilmu biologi, yang menyelidiki proses dalam individu.
Kemudian muncul sosiologi yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup
kemasyarakatannya dan ilmu social baru harus dibentuk atas dasar pengamatan dan
pengalaman (pengetahuan positif).
Dari pembagian tersebut, Comte menyebutkan enam ilmu-ilmu
yang bersifat fundamental artinya dari ilmu-ilmu tersebut diturunkan ilmu-ilmu
lain yang bersifat terapan. Diantaranya; matematika, astronomi, fisika, kimia,
fisiologi, biologi, dan fisika sosial (sosiologi).[8]
Positivisme
dianggap sebagai tonggak kemajuan sains di dunia. Sebagai aliran filsafat,
positivisme mendasarkan diri pada pengetahuan empiris (pengetahuan yang
diangkat dari pengalaman nyata dan dapat diuji kebenarannya). Ilmu pengetahuan
kemudian diarahkan untuk membangun peradaban manusia dengan cara penguasaan
terhadap alam semesta. Teknologi-teknologi canggih diciptakan,
penelitian-penelitian besar dilakukan dan omong kosong yang tidak berguna
dijauhi.[9]
2. Pengertian
Filsafat Fenomenologi
Istilah fenomenologi berasal dari
bahasa Yunani, yang asal katanya adalah “phainomai’’ yang berarti
menampak. Phenomenon merujuk pada yang menampak.[10]
Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang muncul dengan
sendirinya. Fenomenologi berarti uraian tentang phenomenon. Atau sesuatu yang
sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala. Dengan keterangan
ini mulai tampaklah tendensi yang terdalam dari aliran phenomenologi yang
sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari semua filsafat, yaitu mendapatkan
pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu sendiri.
Objek fenomenologi adalah fakta atau
gejala, atau keadaan, kejadian, atau benda, atau realitas yang sedang
menggejala. Phenomenologi berpegang atau berpendirian bahwa segala pikiran dan
gambaran dalam pikiran kesadaran manusia menunjuk pada sesuatu, hal atau
keadaan seperti ini, yaitu pikiran dan gambaran yang tertuju atau mengenai
sesuatu tadi disebut intensional.
Secara umum dapat dikatakan bahwa
fenomenologi adalah cara dan bentuk berpikir, atau apa yang disebut dengan “the
styie of thingking”. Biasanya dikatakan bahwa dasar pikiran itu ialah
intensionalisme. Menurut Edmund Husserl sebagai salah satu tokoh filsafat
fenomenologi bahwa, intention, kesengajaan mengarahkan kesadaran dan reduksi.
Edmund Husserl memang berbagi jenis reduksi ; reduksi fenomenologis, editis,
dunia dan kebudayaan menjadi lebenswelt, dan reduksi transedental. Akan tetapi
tokoh fenomenologi yang lain, seperti Martin Heidegger dan Maurice Morleau
Ponty menolak reduksi-reduksi itu.
Ungkapan fenomenologi adalah slogan
gerakan dalam pemikiran filsafat dan penelitian ilmiah. Walaupun di kalangan
ilmuwan bisa saja terdapat banyak variasi antara satu dengan lainnya, namun
semuanya cukup representatif. Dalam hal tertentu, fenomenologi adalah berkenaan
dengan kesadaran di mana manusia mendapat dunia, mendapatkan selain dirinya dan
mendapatkan dirinya sendiri.
Fenomenologi di satu pihak adalah
hubungan antara menusia dengan dunia, dan di pihak lain, ia merupakan hubungan
antara dirinya dengan dirinya sendiri. Dalam masalah keagamaan, fenomenologi adalah
cara untuk memahami hal ekspresi manusiawi terhadap latar belakang hubungan
yang fundamental. Sebagai suatu usaha pemikiran, fenomenologi mencoba memahami
manusia dalam kerangka filsafat antropologi. Sebagai suatu usaha riset ilmiah,
fenomenologi berusaha untuk mengklarisifikasikan seluk-beluk kumpulan fenomena,
termasuk fenomena keagamaan. Dengan cara demikian, fenomenologi menentukan
terhadap pengertian mereka sendiri.
Program utama fenomenologi adalah
mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek pengetahuan. Kembali
ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat dan penuh penghayatan.
Selain itu, fenomenologi juga menolak klaim representasionalisme epistimologi
modern. Fenmenologi yang dipromosikan Husserl sebagai ilmu tanpa presuposisi.
Ini bertolak belakang dengan modus filsafat sejak Hegel menafikan
kemungkinannya ilmu pengetahuan tanpa presuposisi. Presuposisi yang menghantui
filsafat selama ini adalah naturalisme dan psikologisme. Pengaruuh fenomenologi
sangat luas. Hampir semua disiplin keilmuan mendapatkan inspirasi dari
fenomenologi. Psikologi, sosiologi, sntropologi, sampai arsitektur semuanya
memperoleh nafas baru dengan munculnya fenomenologi.[11]
Tokoh Aliran Fenomenologi dan Ajarannya
·
Edmund Gustav Albrecht Husserl
Edmund Gustav Albrecht Husserl lahir di Prostejov ( Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal
di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 (pada
umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai bapak
fenomenologi. Karyanya meninggalkan
orientasi yang murni positivis dalam sains dan filsafat pada masanya, dan
mengutamakan pengalaman subjektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita
tentang fenomena objektif.[12]
Jadi, semua bersumber dari bagaimana seseorang memaknai objek dalam
pengalamannya.
Husserl adalah murid Franz Bertano dan Carl Stumpf ; karya
filsafatnya mempengaruhi, antara lain, Edith Stein (St. Teresa Benedicta dari
Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Emmanuel
Levinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau-Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl
berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Letheran.
Edmun Husserl (1859-1938) adalah pendiri aliran
fenomenologi, ia telah mempengaruhi pemikiran filsafat abad ke 20 ini secara
amat mendalam. Bagi Husserl fenomena ialah realitas sendiri yang tampak, tidak
ada selubung atau tirai yang memisahkan subjek dengan realitas, realitas itu
sendiri yang tampak bagi subjek.
Menurut Husserl fenomenologi adalah ilmu yang fundamental
dalam berfilsafat. Fenomenologi adalah ilmu tentang hakikat dan bersifat a
priori. Dengan fenomenologi manusia dapat mempelajari bentuk-bentuk
pengalaman dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung,
seolah-olah mengalami sendiri. Fenomenologi juga mencakup tindakan sadar maupun
prediksi tindakan di masa yang akan datang, dilihat dari aspek-aspek yang
terkait.[13]
Anggapan para ahli tertentu lebih mengartikan fenomenologi
sebagai suatu metode dalam mengamati,memahami, mengartikan, dan memaknakan
sesuatu daripada sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat. Dalam pengertian
sebagai suatu metode, Kant dan Husserl mengatakan bahwa apa yang dapat kita
amati hanyalah fenomena bukan neumenon atau sumbernya gejala itu sendiri.
Dengan demikian, terhadap hal yang kita amati terdapat hal-hal yang membuat
pengamatannya tidak murni sehingga perlu adanya reduksi. Jadi, pengamatan biasa
(natuerliche Einstellung) akan menimbulkan bias. Meskipun pengamatannya
merupakan hal biasa pada manusia umumnya, namun tidak memuaskan filosof dan
mereka yang menginginkan kebenaran secara murni (reine wessenschau).
Adapun hal yang harus dilakukan adalah pertama-tama reduksi fenomenologi (phaenomenologische
reduction) atau disebut juga reduksi epochal atau menjadikan apa yang bukan
bagian saya (das nicht ich) menjadi bagian saya (dasa ich).
Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya.[14]
Tiga hal yang perlu kita sisihkan dalam usaha menginginkan kebenaran yang
murni, yaitu: a) Membebaskan diri dari unsur subjektif, b) Membebaskan diri
dari kungkungan teori-teori, dan hipotesis-hipotesis, c)
Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
3. Pengertian
Filsafat Idealism
Idealime adalah sebuah istilah
yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat
oleh Leibniz pada awal abad 18. ia menerapkan istilah ini pada
pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme. Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang
memandang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.[15]
Arti falsafi dari
kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada
kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism
lebih tepat digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme
mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind)
atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme
menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
Paham ini beranggapan
bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada unsur yang
tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia lebih
dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka
peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup
hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal
dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.
Jenis-Jenis Idealisme
Sejarah idealisme cukup
berliku-liku dan meluas karena mencakup berbagai teori yang berlainan walaupun
berkaitan. Ada beberapa jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif,
idealisme objektif, dan idealisme personal.
1. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat
yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri.
Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul
dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide
manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah
sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
Salah satu tokoh terkenal dari
aliran ini adalah seorang dari inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753
M). Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita
itu bukanlah materi yang real dan ada secara
objektif.
2. Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik
tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal
menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik
dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan
filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada
secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia
alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.
Filsuf idealis yang pertama kali
dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia
persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang
sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat
alam di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang
abadi.
3. Idealisme Personal
(personalisme)
Idealisme personal yaitu nilai-nilai
perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes
terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis,
realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
Tokoh-Tokoh Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof
Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut
Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi
tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang
dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi
pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman
adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek.
Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri
sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan
mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang
dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari
tindak perbuatan sang Aku.
2. G.W.F Hegel (1798-1857 M)
Hegel lahir di Stuttgart,
Jerman pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah
bernama George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria
Magdalena. Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium.
Hegel muda ini tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia
18 tahun ia memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia
menjadi seorang tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah
dengan Marie Von Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah,
juga pernah menjadi redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di
Heidelberg dan kemudian pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas
Berlin (1830).
Pokok-Pokok Pikiran (Filsafat) Hegel
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh
karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan
dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir
kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis,
suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
positivisme ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid,
dan fakta-fakta saja yang menjadi objek pengetahuan. Positivisme menolak
keberadaan segala kekuatan atau subjek di luar fakta, dan menolak
penggunaan metode di luar yang digunakan untuk menelaah fakta.
Comte seorang tokoh positivisme mengatakan bahwa;
perkembangan pengetahuan manusia menjadi tiga tahap: 1) tahap teologis terbagi
dalam tiga sub-bagian; fetisisme, politeisme dan monoteisme, 2) tahap
metafisik, mausia mulai mempertanyakan dan mencoba mencari bukti-bukti yang
meyakinkannya tentang sesuatu dibalik fisik, dan 3) tahap ilmiah atau positif,
manusia berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagai eksperimen
yang akhirnya menghasilkan fakta-fakta ilmiah, terbukti dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Termasuk dalam aliran filsafat modern adalah fenomologi yang
di prakarsai oleh husserl. Adapun pokok-pokok pikiran husserl mengenai
fenomenologi adalah sebagai berikut:
-
Fenomena adalah realitas sendiri (realitas
in se)
-
Tidak ada batas antara subjek dengan
realitas
-
Kesadaran bersifat
intensional/kesenjangan, yaitu orientasi pikiran terhadap objek tertentu
-
Terdapat interaksi antara tindakan
kesadaran (neosis) dangan objek yang disadari (neoma).
Idealism adalah suatu ajaran/faham
yang menganggap bahwa realitas ini terdiri dari atas roh-roh atau jiwa, ide-ide
dan pikiran. Paham ini beranggapan
bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya.
Daftar Pustaka
·
Adian,
Donni Gahral . 2002. Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer . Jogjakarta:
Jalasutra
·
Akhmadi,
Asmoro. 2008. Filsafat Umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
·
Hardiman,
F. Budi. 2004. Filsafat modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
·
Kanisius.
1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
·
Kusworo,
Engkus. 2009. Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi,
Pedoman Dan Contoh Penelitian. Bandung: Widya Padjajaran
·
Poedjawijatna,
I. R. 1980. Pembimbingan ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan
·
Syadali,
Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
·
www.anneahira.com/sejarah-perkembangan-filsafat.html
diakses 20 maret 2011
·
https://harkaman01.wordpress.com/2013/01/11/aliran-aliran-filsafat-idealisme-materialisme-eksistensialisme-monisme-dualisme-dan-pluralisme/
diakses 15 desember 2016
Sumber
: http://rahmah-anjwah.blogspot.co.id/2015/02/makalah-pengetahuan-dalam-filsafat.html
[1]
F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2004), 204
[2]
Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008),
120
[3]
Ahmad Shadali, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 133
[4]
F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2004), 203
[5]
Kanisius, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: penerbit Kanisius,
1998), 72
[6]
I.R. Poedjawijatna, Pembimbingan ke Arah Alam Filsafat (Jakarta: PT.
Pembangunan, 1980), 115
[7]
F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2004), 206
[8]
F. Budi hardiman, Filsafat Modern; Dari machiavelli sampai Nietzsche
(Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 2004), 209
[9]
www.anneahira.com/sejarah-perkembangan-filsafat.html diakses 20 maret 2011
[10]
Engkus Kuswarno, Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian (Bandung: Widya Padjajaran, 2009)
[11]
Donni Gahral Adian, Pilar-Pilar Filsafat Kontemporer (Jogjakarta:
Jalasutra, 2002)
[12]
http://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
[13]
Engkus Kuswarno, Fenomenologi; Metodologi Penelitian Komunikasi Konsepsi,
Pedoman dan Contoh Penelitian (Bandung: Widya Padjajaran, 2009)
[14]
Ibid, 48
[15]
Lorens Bagus., Kamus Filsafat Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005
[16]
http://rahmah-anjwah.blogspot.co.id/2015/02/makalah-pengetahuan-dalam-filsafat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar