BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ekonomi makro atau makroekonomi adalah studi tentang ekonomi secara
keseluruhan. Makro ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi
banyak rumah tangga (household), perusahaan, dan pasar. Ekonomi makro dapat digunakan
untuk menganalisis cara terbaik untuk mempengaruhi target-target kebijaksanaan
seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, tenaga kerja dan pencapaian
keseimbangan neraca yang berkesinambungan.
Pengantar ilmu ekonomi makro islam mempelajari variabel-variabel
ekonomi secara agregat (keseluruhan) dan tak lepas dari syariat- syariat islam.
Seperti bahasan tentang sejarah ekonomi makro, konsep sumber daya dalam ekonomi
islam, analisis kegiatan ekonomi klasik keynes dan masa kini, uang dalam
ekonomi islam, pandangan para ekonom muslim tentang uang, dan lain- lain.
B.
Rumusan Masalah
Sebelum lebih jauh mempelajari ekonomi makro, lebih baiknya kita
mengetahui sebagai berikut :
1. Uang Menurut Al- Ghazali
2. Uang Menurut Ibnu Taimiyah
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pandangan para
ekonom islam tentang evolusi dan fungsi uang, yang ditekankan pada pandangan
Al- Ghazali dan Ibnu Taimiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PEMIKIRAN AL- GHAZALI TENTANG UANG
a. Evolusi Uang dan Fungsi Uang
Pembahasan Al-Ghazali tentang uang nampak cukup komprehensif, yang
dimulai dari evolusi uang hingga fungsi uang. Al-Ghazali menjelaskan bagaimana
uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu perdagangan barter.
Perdagangan barter
mengandung banyak kelemahan diantaranya;
1. Kurang memiliki
angka penyebut yang sama (lack of common denominator),
2. Barang yang
diperdagangkan sulit untuk dibagi-bagi (indivisibility of goods),
3. Keharusan adanya
dua keinginan yang sama antara penjual dan pembeli (double coincidence of
wants).
Dengan berbagai keterbatasan barter tersebut, maka diperlukan suatu
alat yang mampu berperan lebih baik dalam transaksi jual beli. Itulah yang
menurutnya mendasari munculnya kebutuhan akan uang dimasyarakat. Uang berfungsi
memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dalam pertukaran
tersebut. Al-Ghazali mengisyaratkan bahwa uang sebagai unit hitungan yang
digunakan untuk mengukur nilai harga komoditas dan jasa. Kemudian uang juga
sebagai alat yang berfungsi sebagai penengah antara kepentingan penjual dan
pembeli, yang membantu kelancaran proses
pertukaran komoditas dan jasa.
Ia menegaskan bahwa evolusi uang terjadi karena kesepakatan dan
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat, yakni tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran
barang dan tidak ada pertukaran yang efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi
demikian hanya dapat ditentukan dengan tepat bila terdapat ukuran yang sama.
Hal tersebut seperti dalam paparan Al-Ghazali berikut ini:
Termasuk nikmat Allah SWT. Diciptakan dirham dan dinar. Dengan
keduanya kehidupan menjadi lurus. Keduanya hanyalah dua barang tambang yang
tidak ada manfaat pada bendanya, tapi makhluk perlu kepadanya sekiranya setiap
manusia membutuhkan banyak barang yang berkaitan dengan makanan, pakaian,
seluruh kebutuhan nya. Seperti orang yang memiliki za’faran, dan ia membutuhkan
unta sebagai tunggangan nya. Dan orang yang memiliki unta dapat saja tidak
membutuhkannya dan membutuhkan za’faran sehingga terjadi pertukaran antar
keduanya.
Al- Ghazali
menekankan bahwa uang tidak diinginkan karena uang itu sendiri. Artinya, uang
dibutuhkan masyarakat bukan karena masyarakat menginginkan mempunyai emas dan
perak yang merupakan bahan uang tersebut, tetapi kebutuhan tersebut lebih pada
menggunakan uang sebagai alat tukar. Uang baru akan memiliki nilai jika
digunakan dalam suatu pertukaran. Tujuan utama dari emas dan perak adaalah
untuk dipergunakan sebagai uang. Uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
b. Menimbun dan Melebur Uang
Merujuk pada Al-Qur’an, Al-Ghazali mengecam para penimbun uang yang
dianggapnya sebagai penjahat.uang yang ditimbun tidak akan memberi manfaat bagi
masyarakat luas. Uang yang seharusnya berputar menjadi mandek pada sekelompok
orang. Berikut pernyataan Al-Ghazali tentang ini:
Jika seseorang menimbun dinar dan dirham, ia berdosa. Dinar dan
dirham tidak memiliki guna langsung pada dirinya. Dinar dan dirham diciptakan
supaya beredar dari tangan ke tangan, untuk mengatur dan memfasilitasi
pertukaran, sebagai simbol untuk mengetahui nilai dan kelas barang.
Siapapun yang mengubahnya menjadi peralatan-peralatan emas dan
perak berarti ia tidak bersyukur kepada penciptanya, dan lebih buruk daripada
penimbun uang, karena orang yang seperti itu adalah seperti orang yang memaksa penguasa untuk
melakukan fungsi-fungsi yang tidak cocok.
Kegiatan menimbun uang berarti menarik uang dari peredaran untuk
sementara, artinya uang yang ditimbun tersebut masih berwujud uang dan suatu
ketika dimungkinkan masih dapat beredar kembali ke masyarakat berfungsi sebagai
uang. Sedangkan melebur uang berarti menarik uang dari peredaran untuk
selamanya, karena wujud uang telah berubah bentuk, sehingga tidak lagi dapat
berfungsi sebagi uang.
Dengan menggunakan teori kuantitas uang, Irving Fisher (1867-1947), implikasi dari adanya penimbunan uang dan peleburan
uang dapat dijelaskan melalui persamaan berikut:
MV=PT
M (Money) adalah jumlah uang beredar,
V (velocity) adalah kecepatan uang beredar,
P (Price) adalah tingkat harga produk dan
T (trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan.
Bila penimbunan uang dilakukan maka dalam persamaan diatas akan
dapat menurunkan M atau V. Turunnya M atau V yang tidak diikuti dengan kenaikan
pada jumlah produk yang ditransaksikan dipasar, yang berarti T tidak mengalami
perubahan atau bahkan turun, maka dalam persamaan diatas agar sisi kanan sama
dengan sisi kiri , kenaikan M atau V akan otomatis menaikkan harga-harga produk
dipasar (P).
Sedangkan aktifitas melebur uang berarti menghilangkan sejumlah
uang dari peredaran untuk selamanya. Implikasinya dapat dianalisis dengan
persamaan diatas, yaitu jumlah uang beredar, M akan berkurang.
Semakin sedikitnya jumlah uang beredar akan dapat menurunkan volume
transaksi produk, T dipasar. Bila besarnya V tidak berubah misalnya, maka
dampaknya akan sama dengan menimbun uang diatas, yaitu akan otomatis menaikan
harga- harga produk dipasar (P). Cuma dampaknya akan lebih parah dibandingkan
menimbun uang, karena dalam melebur uang berarti “hilangnya” uang bersifat permanen.
c.
Pemalsuan
Uang
Peredaran uang palsu, yaitu dengan kandungan emas atau perak yang
tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah, Al-Ghazali kecam keras. Menurutnya
mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri 1000
dirham. Karena mencetak dan mengedarkan uang palsu adalah dosa yang berlipat
setiap kali uang itu dipergunakan. Implikasi makro beredarnya uang palsu ini
juga akan dapat mendorong tingkat inflasi, karena akan menambah jumlah uang
beredar dimasyarakat diluar uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Berikut ini
kutipan pernyataan Al-Ghazali:
Al-Ghazali membolehkan peredaran uang yang tidak mengandung emas
dan perak, asalkan pemerintah menyatakan uang tersebut sebagai alat bayar yang
resmi. Kemudian secara tidak langsung Al-Ghazali membolehkan kemungkinan
penggunaan uang representatif (token money).
d. Perdagangan Uang
Al-Ghazali berpendapat bahwa aktifitas memperdagangkan dinar dan
dirham sama halnya dengan memenjarakan uang, sehingga tidak lagi dapat
berfungsi. Semakin banyak uang diperdagangkan, maka semakin sedikit yang dapat
berfungsi sebagai alat tukar. sebagaimana
dalam pernyataan Al-Ghazali:
Jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan
dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuan nya. Hal
ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk
menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham
adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan
bagi mereka sendiri.
Perdagangan uang yang mengandung spekulasi itu sangat mudah
dilakukan, proses untuk sampai pada hasil sangat cepat tanpa harus bekerja
keras. Dapat dibayangkan apabila kemudian lebih banyak orang yang tidak
bersedia bekerja di sektor riil karena prosesnya lama dan perlu kerja keras,
dan kemudian lebih menyukai berdagang uang, maka sektor riil akan terganggu.
Kemampuan sektor riil untuk berproduksi semakin menurun karena pelakunya
sedikit dan sulitnya mendapatkan tambahan modal dari investor. Dengan kata
lain, konsekuensi naiknya aktifitas perdagangan uang yang berarti mempercepat
peredaran uang tersebut akan mengakibatkan harga-harga produk dipasar semakin
mahal, yang berarti terjadi peningkatan inflasi. Kondisi seperti inilah yang
saat ini terjadi di indonesia , dimana jumlah uang yang masuk ke sektor riil
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah uang yang ditransaksikan di pasar uang.
Dengan menggunakan teori kuantitas uangnya (Irving
Fisher),
implikasi dari adanya perdagangan uang dapat dijelaskan melalui persamaan:
MV =
PT.
Dimana M (money) adalah
jumlah uang beredar
V (velocity) adalah kecepatan uang beredar
P (price) adalah tingkat harga produk
T (trade) nilai produk yang diperdagangkan.
Meskipun pemerintah tidak melakukan percetakan uang, yang berarti M
jumlahnya tetap. Bila perdagangan mata uang dilakukan masyarakat, maka
kecepatan peredaran uang akan meningkat (V akan membesar). Sementara T tidak
mengalami perubahan karena semakin sedikit uang yang berputar pada sektor riil
dan orang menjadi malas bekerja pada sektor riil sehingga jumlah produk
berkurang, maka dalam persamaan diatas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri,
kenaikan V akan otomatis menaikan P. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya
aktifitas perdagangan uang yang berarti mempercepat peredaran uang tersebut
akan mengakibatkan harga- harga produk di pasar semakin mahal, yang berarti
terjadi peningkatan inflasi.
2.2. PEMIKIRAN IBNU TAIMIYAH TENTANG UANG
a. Fungsi Uang dan Perdagangan Uang
Dalam hal uang, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa fungsi utama uang
adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar
pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang Ibn Taimiyah ungkapkan berikut ini:
Sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Ibnu Taimiyah, menunjukkan
bahwa ia menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam islam dianggap sebagai alat untuk
melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, yaitu:
1. Uang tidak punya
kepuasan intrinsik yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara
langsung.
2. Komoditas mempunyai
kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak.
3. Komoditas akan
menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran
tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan
(hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi disatu
pihak membayar tunai sementara pihak
lainnya berjanji membayar dikemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat
menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang
tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan
kesempatan. Dalam pandanga Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa
Rasulullah SAW melarang jenis transaksi seperti ini.
b. Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar
Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat
itu harga-harga barang ditetapkan dalam dirham, yaitu mata uang peninggalan
Bani Ayyubi.
Karena desakan kebutuhan
masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil
Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut
dengan uang. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan uang digunakan
untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian
menginspirasi pemerintahan sultan kitbugha dan sultan Dzahir Barquq untuk
mencetak uang dalam jumlah sangat besardengan nilai nominal yang melebihi
kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin
memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun.
Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang
tersebut, Ibnu Taimiyah melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar
dimasyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk
yang berlaku. Menurutnya nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya
beli masyarakat dipasar sehingga tidak seorangpun, termasuk pemerintah dapat
mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam atau
mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkan nya dalam peredaran mata
uang. Melalui teori kuantitas uangnya (irving
fisher)
diatas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan: MV=PT
Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata
uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar
dimasyarakat, M akan meningkat. Sementara
bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan diatas agar sisi kanan
sama dengan sisi kiri maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi
naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak
stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
c. Implikasi Penerapan Lebih dari Satu
Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan Kitbugha
menetapkan bahwa nilai uang ditentukan berdasarkan beratnya, dan bukan
berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan uang dalam jumlah besar masih
dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor tembaga dari negara-negara
Eropa. Untuk mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah.
Ditengah penggunaan uang
secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan dirham semakin
sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari peredaran dan
inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin meningkatnya harga-harga
produk. Dampak pemberlakuan uang sebagai mata uang resmi adalah terjadinya
kelaparan sebagai akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga.
Merespon berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada
saat itu, Ibnu Taimiyah menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa
berlaku suatu mata uang yang sedang berada ditangan masyarakat. Ketika
pemerintah menyatakan tidak berlaku lagi
atas mata uang yang dipegang masyarakat, yang berarti uang diperlakukan sebagai
barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama dibandingkan dengan ketika
berfungsi sebagai mata uang, maka masyarakat sangat dirugikan dalam hal ini.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nomina yang lebih
besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut untuk
membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan
menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi
serta pemalsuan uang. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsik mata uang
tersebut berbeda, hal ni akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para
penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata
uang yang baik, dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan
menukarkannya dengan mata uang yang buruk didaerah tersebut untuk dibawa
kembali ke daerahnya.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak mempelopori
bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya menjadi uang,
dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang (seignorage). Karena
setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi
nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka
kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi
ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal
tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti
masyarakat menjadi semakin miskin.
Dibagian akhir pernyataan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, uang
dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang uang dari kualitas baik dari
peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang kebih dari satu jenis pada saat
itu dengan nilai kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan
diatas, bahwa 1 dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga,
sekarang menjadi 1/3 perak dan 2//3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang
dinar dan dirham lama termotifasi untuk menukar uangnya tersebut dengan
produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih
banyak atau lebih menguntungkan. Akibatnya, peredaran dinar sangat terbatas,
dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara uang beredar
secara luas. Banyaknya uang yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga
dalam mata uang dirham mengakibatkan sistem moneter pada saat itu tidak stabil.
Lebih jauh Ibnu
Taimiyah menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari
perbendaharaan negara (baitul mal). Pembayaran gaji yang diambilkan dari hasil
pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan penawaran uang, sedangkan
pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara berarti menggunakan uang
yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga dapat menambah harta
perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan negara lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pembahasan Al-Ghazali tentang uang nampak cukup komprehensif, yang
dimulai dari evolusi uang hingga fungsi uang. Menurut Al-Ghazali : “ Jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan
dinar dan dirham lagi, hal ini berlawanan
dengan fungsi dinar dan dirham. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Karena Dinar dan dirham adalah alat tukar untuk
mendapatkan barang-barang lainnya.
Menurut Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Uang, Sebagaimana
yang diungkapkan oleh beliau : “Menunjukkan
bahwa ia menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Terdapat sejumlah alasan, karena uang dalam islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi,
bukan diperlakukan sebagai komoditas.
Dibagian akhir pernyataan Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa, uang dengan kualitas
buruk akan menyingkirkan uang uang dari kualitas baik dari peredaran. Hal itu
akibat beredarnya mata uang kebih dari satu jenis pada saat itu dengan nilai
kandungan logam mulia yang berbeda. Lalu beliau (Ibnu Taimiyah) menyarankan
kepada penguasa agar tidak mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli
tembaga serta mencetaknya menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari
hasil mencetak uang (seignorage).
Saran
Sesuai dengan kesimpulan diatas, Penulis menyarankan setiap teman-teman
dapat memahami konsep ‘’Uang Dalam Pandangan Para Ekonom Muslim’’.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Naf’an tentang Ekonomi Makro dalam tinjauan ekonomi syariah
Ahmad
Hasan, Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja
Grafindo Persada, 2005.
Al-Ghazali,
Mata Uang Islami, Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islam, Raja
Grafindo Persada, 2005
An-Nabhani,
Taqyuddin, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya,
Risalah Gusti, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar