Jumat, 16 Desember 2016

Asuransi Syariah



BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Munculnya lembaga (perusahaan) asuransi syariah pada masyarakat muslim sebagaimana juga kemunculan lembaga keuangan syariah seperti bank syariah dapat dipastikan terinspirasi atau bahkan terpengaruhi oleh kenyataan adanya perusahaan asuransi yang diciptakan lebih dulu oleh negara-negara barat.  Melalui penjajahan barat terhadap negeri muslim maka dipraktekan pula sistem asuransi di negeri – negeri jajahan termasuk di Indonesia melalui penjajah Belanda.
Bisnis asuransi konvensional dianggap memiliki berbagai kelemahan yang bertentangan dengan prinsip syari’ah yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Walaupun istilah asuransi tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan Hadist, tidak menutup kemungkinan dikembangkannya asuransi syariah secara alami oleh para fukaha. Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam menganggap pelaksanaan asuransi konvensional yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan prinsip syari’ah karena mengandung unsur Gharar (ketidakjelasan),Maisir (perjudian) ataupun riba (bunga). Hal ini membuat ragu umat islam untuk ikut serta sebagai anggota asuransi. Akhirnya dengan kesepakatan pendapat para ulama islam lahirlah suatu konsep asuransi syaria’ah yang dapat diterima dan dipraktekkan dimana saja dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah.
Adapun kemunculan asuransi yang berlandasan kaidah-kaidah muamalah Islam, pertama kali di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994. Terbentuknya Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syariah yang sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya Bank Muamalat juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang sama

B.            Rumusan Masalah
1.      Apa dasar hukum asuransi syariah di Indonesia ?
2.      Apa yang dimaksud dengan asuransi syariah dan apa yang membedakannya dengan asuransi konvensional ?
3.      Bagaimana mekanisme operasional asuransi syariah ?
4.      Apa akad-akad yang digunakan dalam asuransi syariah ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Dasar Hukum Asuransi Syariah
           Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
Dengan demikian perusahaan asuransi/ perusahaan reasuransi berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada :

Fatwa MUI

B.            Pengertian Asuransi Syariah dan Perbedaannya Dengan Asuransi Konvensional
1.    Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi Syariah (Takaful) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong antara sejumlah orang atau tabarru’ yang memberikan pola pengambilan untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada suransi syariah setiap peserta sejak awal beraksud saling tolong menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut tabbaru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian resiko dimana tertanggung harus membayar premi, premi merupakan pembagian resiko dimana para peserta saling menanggung.
Premi pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang tediri atas Dana Tabungan dan tabarru’. Dana tabungan adalah titipan dari peserta asuransi syariah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun . Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim manfaat asuransi. Sedangkan tabarru’ adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat asuransi.

a.         Prinsip Asuransi Syariah
Asuransi syariah memiliki prinsip yang berbeda dengan lembaga konvensional . Prinsip tersebut antara lain :
1.    Saling membantu dan bekerjasama “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”(QS.Al-Maidah:2). “
2.    Prinsip tolong-menolong. Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada prinsip Tabarru’. Dimana sesama peserta bertabarru’ atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi (premi).
Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara syariah) lalu kemudian dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak saling bertatap muka.
3.    Saling melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan. Seperti membiarkan uang mengaggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum. ‘Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu…” (QS. 4:29).
4.     Prinsip Tauhid Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali dalam bermuamalah. Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT. Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.
b.             Produk Asuransi Syariah
    Produk asuransi syariah merupakan representasi dari kondisi “permintaan” masyarakat akan keberadaan suatu produk. Maka dengan keadaan ini perlu dukungan dari berbagai elamen masyarakat untuk menjadikan posisi asuransi syariah-dengan produk-produknya-semakin berarti dalam pembangunan.
1. Produk Takaful Individu
Produk takaful individu dibagi dua jenis, yaitu produk takaful individu tabungan dan produk takaful non-tabungan. Mekanisme kerja kedua produk tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun begitu sistemnya tetap melarang keberadaan riba, gharar dan maysir.
1)  Produk-Produk Tabungan
a.  Takaful Dana Investasi
b.  Takaful Dana Haji
c.   Takaful Dana Siswa
d.  Takaful Jabatan
2)  Produk-Produk Non-Tabungan
a.  Takaful al khairat Individu
b.  Takaful Kecelakaan Diri Individu
c.  Takaful Kesehatan Individu
B. Produk Takaful Group
1.    Takaful Al Khairat dan Tabungan Haji
2.    Takaful Kecelakaan Siswa
3.    Takaful Wisata dan Perjalanan
4.    Takaful Kecelakaan Diri
5.    Takaful Majelis Taklim
6.   Takaful Pembiayaan
C. Takaful Umum
1.   Takaful Kebakaran
2.   Takaful Kendaraan Bermotor
3.   Takaful Rekayasa
4.   Takaful Pengangkutan
5.   Takaful Rangka Kapal
6.   Asuransi Takaful Aneka
2.             Pengertian Asuransi Konvensional
a.             Ruang Lingkup  Asuransi Konvensional
Pengertian Asuransi Secara bahasa
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda dipakai kata Verzekerring, kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “Pertanggungan”. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Dari istilah Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan Verzekerde bagi “tertanggung”.
Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[1]
b.             Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".
Sedangkan dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa aktuaria."
Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.[2]
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan  Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai: Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 1992)Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuari, underwriting, manajemen risiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijelaskan.
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari  asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.      Asuransi Milik Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia
2.      Asuransi Milik Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) 
3.      Asuransi Milik Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing
4.      Asuransi Milik Campuran
Merupakan jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing[3]
c.              Bentuk Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha peransuransian diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha peransuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.      Perusahaan Perseroan (PERSERO)
2.      Koperasi
3.      Perseroan Terbatas
4.      Usaha Bersama (mutual)

B.     Kontrak Asuransi Konvensional
1. Definisi Kontrak Asuransi
Banyak definisi mengenai asuransi. Salah satu yang populer adalah asuransi ialah subsitusi suatu biaya kecil tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak tertentu.
Dari pandangan hukum, kontrak dengan mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai yang dikenal sebagai premi, memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab yang menimpa pihak lain, sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk mendistribusikan risiko tersebut, adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau nama yang dipakainya. Banyak kontrak yang sepintas lalu tampak seperti tampak asuransi, tetapi jika diteliti menurut definisi ini ternyata tidak memenuhi syarat.[4]
C.     Pandangan Ulama tentang Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Makkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif" yang tegak di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al halal wa al-Haram fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi konvensional a.l: (1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) karena badan asuransi memutar uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan Islam (Persis) melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang mengandung unsur gharar dan judi, kecuali asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena banyak mengandung maslahah maka dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah secara mendalam, maka sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para ulama disebabkan karena asuransi itu mencakup tiga hal:[5]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqd Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd Takafuli (tolong menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad yang melandasinya adalah Aqd Takafuli atau tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru. Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas tidak garar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru (derma)
 2. Maisir (Judi atau )
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan sangat tegas telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah SWT. adalah:
a. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[6]
Dalam Asuransi konvensional maisir timbul dalam dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu. Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode, dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si penerima polis sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila karena suatu hal ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena Takaful dalam hal ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan mencapai kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja sebagai keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang premi/nasabah.
3. Riba (Tambahan Uang dari Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan seluruh dananya ke Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau Perbankan Islam lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang pendapat dikalangan ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang mengharamkan, paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
b. - ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين.فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمونولاتظلمون.[7]
-Hadis Nabi S.A.W:
c. - لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه.[8]
Terlepas dari silang pendapat di atas, Syarikat Takaful mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik adalah menjauhi syubhat, menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali kepada ajaran agama.

Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional:
Perbedaan Takaful Dengan Asuransi Konvensional
Hasil Kajian para cendikiawan muslim dan pakar ekonomi mengenai takaful dan asuransi konvensional antara lain :
1.                       Oprasional asuransi takaful berasaskan ajaran islam, seperti menghilangkan unsure-unsur yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak berasaskan syariat sehingga oprasionalnya perusahaan tidak dapat terhindar dari unsure yang dilarang oleh islam, seperti unsure al-qharar, al-maisir dan al-riba.
2.                       Dari sudut kontrak, kontrak takaful adalah didasari atas prinsip al-takaful dan al-mudharabah, sedangkan kontrak asuransi konvensional adalah sebuah kontrak berdasarkan kepada perniagaan atau jual beli semata.
3.                       Takaful mengamalkan system jamin-menjamin,kerjasama dan saling bantu-membantu berlandaskan konsep tabarru diantara para peserta, sedangkan asuransi konvensional tidak ada pengalaman tabarru’ hanya perjanjian ganti kerugian oleh perusahaan asuransi.
4.                       Dalam takaful investasi dana berasaskan kepada system bagi hasil( al-mudharabah), sedangkan dalam asuransi konvensional pelaburan dana berasaskan bunga.

3.             Mekanisme Oprasional Asuransi Syariah
System asuransi islam takaful memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasi perusahaan takaful yaitu asas al-mudharabah dan asas tabarru’. Dengan adanya kedua prinsip dasar ini menjadikan system asuransi takaful itu dapat selaras dengan hukum syariat.
Manfaat takaful pada sistem yang mengandung Unsur Tabungan, jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan memperoleh:
·         Dana rekening tabungan yang telah disetor
·         Bagian keuntungan atas hasil investasi Mudharabah dari rekening tabungan
·         Selisih dari manfaat takaful awal (rencana menabung) dengan premi yang sudah dibayar
Bila peserta mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir, maka peserta akan memperoleh:
·         Dana rekening tabungan yang disetor
·         Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
Bila peserta hidup sampai dengan perjanjian berakhir, maka peserta akan memperoleh:
·         Dana rekening tabungan yang telah disetor
·         Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
Manfaat takaful pada sistem tanpa unsur tabungan
·  Bila peserta ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan mendapatkan dana santunan meninggal dari perusahaan, sesuai dengan jumlah yang direncanakan peserta
·   Bila peserta hidup sampai perjanjian beakhir, maka peserta akan mendapatkan bagian keuntungan atas  rekening tabarru’ yang ditentukan oleh rekening perusahaan

4.             Akad-Akad dalam Asuransi Syariah
a.      Akad (Perjanjian) 
Akad dalam asuransi syariah harus sesuai dengan syariah Islam yakni akad yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat. Ketentuan-ketentuan akad asuransi syariah telah diatur oleh Dewan Syariah Nasional.
Akad Asuransi Syariah
1.             Akad Tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Akad tijarah dapat berupa akad wakalah bil ujrah (perwakilan), akad mudharabah (bagi hasil), dan akad mudharabah musytarakah.
2.             Akad Wakalah bil Ujrah yaitu akad tijarah yang memberi kuasa kepada perusahaan asuransi syariah sebagai wakil peserta untuk mengelola dana tabarru dan dana investasi dengan imbalan berupa ujrah (fee).
3.             Akad Mudharabah yaitu akad tijarah yang memberika kuasa kepada perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana tabarru dan dana investasi peserta dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya disepakati sebelumnya.
4.             Akad Mudharabah Musytarakah yaitu akad tijarah yang memberika kuasa kepada perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana tabarru dan dana investasi peserta, yang digabungkan dengan kekayaan perusahaan asuransi syariah, dengan mendapatkan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya.
5.             Akad Tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Dalam akad tabarru harus disebutkan:
    1. Kesepakatan para peserta untuk saling tolong-menolong (ta’awun)
    2. Hak dan kewajiban peserta (baik individu maupun kelompok) dan perusahaan;
    3. Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
    4. Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh peserta.
    5. Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting
Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah dan Tabarru
  1. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
  2. Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

 Penggunaan Dana Tabarru
Perusahaan asuransi syariah dalam menggunakan dana tabarru hanya untuk keperluan yang berkaitan dengan:
  1. pembayaran santunan kepada peserta yang mengalami musibah atau pihak lain yang berhak;
  2. pembayaran reasuransi;
  3. pembayaran kembali dana pinjaman dari perusahaan lainnya (Qardh); atau
  4. pengembalian kembali Dana Tabarru sebagai akibat pembatalan polis oleh peserta dalam periode yang diperkenankan



BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Menurut UU no.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkn diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pada dasarnya, asuransi dapat memberikan manfaat bagi pihak tertanggung, antara lain dapat memberikan rasa aman dan perlindungan, sebagai pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil, polis asuransi dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit, sebagai tabungan dan sumber pendapatan, sebagai alat penyebaran risiko, serta dapat membantu meningkatkan kegiatan usaha.
Seiring perkembangan program syariah di berbagai lembaga keuangan, dalam usaha perasuransian pun juga terdapat asuransi syariah. Asuransi syariah merupakan sebuah sistem dimana para partisipan/ anggota/ peserta mendonasikan/ menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/ anggota/ peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/ kontribusi yang diterima/ dilimpahkan kepada perusahaan.











DAFTAR PUSTAKA
- Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994)
-Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A. Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981),
-Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas Syari’ah, 2002)
-Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal 'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996)
-Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
-A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002),
-Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap Asuransi Konvensional,
-http//www.takaful.com/whitepaper/whitepaper.html.,
-Q.SAl-Maidah (5): 90
-Q.SAl-Baqarah (2): 278-279
-Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt),



[1] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 205-206.
[2] Ibid., hlm. 26.
[3] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[4] A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002), hl. 101
[5] Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap Asuransi Konvensional, http//www.takaful.com/whitepaper/whitepaper.html., hlm. 32-33
[6] Q. S Al-Maidah (5): 90
[7] Q. S Al-Baqarah (2): 278-279
[8] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169

2 komentar:

  1. Terimakasih atas infonya.
    Untuk tutorial ujian LSPP AAMAI, silakan kunjungi
    http://www.akademiasuransi.org untuk info lebih lanjut.

    BalasHapus
  2. walaupun asuransi syariah didasarkan atas prinsip syariat islam, pada prakteknya berlaku secara universal, terbuka untuk agama apapuyn.
    asuransi unit link

    BalasHapus

Jual Beli Valuta (Mata Uang/Forex) Dalam Islam

 Valuta adalah suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasang...