BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Munculnya
lembaga (perusahaan) asuransi syariah pada masyarakat muslim sebagaimana juga
kemunculan lembaga keuangan syariah seperti bank syariah dapat dipastikan
terinspirasi atau bahkan terpengaruhi oleh kenyataan adanya perusahaan asuransi
yang diciptakan lebih dulu oleh negara-negara barat. Melalui penjajahan
barat terhadap negeri muslim maka dipraktekan pula sistem asuransi di negeri –
negeri jajahan termasuk di Indonesia melalui penjajah Belanda.
Bisnis asuransi
konvensional dianggap memiliki berbagai kelemahan yang bertentangan dengan
prinsip syari’ah yang dianut oleh sebagian masyarakat Indonesia. Walaupun
istilah asuransi tidak dikenal dalam Al-Qur’an dan Hadist, tidak menutup
kemungkinan dikembangkannya asuransi syariah secara alami oleh para fukaha.
Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam menganggap pelaksanaan
asuransi konvensional yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan prinsip syari’ah
karena mengandung unsur Gharar (ketidakjelasan),Maisir (perjudian) ataupun riba
(bunga). Hal ini membuat ragu umat islam untuk ikut serta sebagai anggota
asuransi. Akhirnya dengan kesepakatan pendapat para ulama islam lahirlah suatu
konsep asuransi syaria’ah yang dapat diterima dan dipraktekkan dimana saja
dengan mendirikan perusahaan asuransi syari’ah.
Adapun
kemunculan asuransi yang berlandasan kaidah-kaidah muamalah Islam, pertama kali
di Indonesia tak lepas dari nama Asuransi Takaful, yang dibentuk oleh holding
company PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) pada tahun 1994. Terbentuknya
Asuransi Takaful saat itu memperkuat keberadaan lembaga perbankan syariah yang
sudah ada terlebih dahulu, yakni Bank Muamalat karena asumsinya Bank Muamalat
juga membutuhkan lembaga asuransi yang dijalankan dengan prinsip yang sama
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dasar hukum asuransi syariah di Indonesia ?
2.
Apa yang dimaksud dengan asuransi syariah dan apa
yang membedakannya dengan asuransi konvensional ?
3.
Bagaimana mekanisme operasional asuransi syariah ?
4.
Apa akad-akad yang digunakan dalam asuransi syariah
?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar
Hukum Asuransi Syariah
Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam
perusahaan asuransi syariah yang merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan
dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa
sejalan dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu
tidak mendapat perhatian.
Dengan demikian perusahaan asuransi/ perusahaan reasuransi
berdasarkan prinsip syariah mengacu kepada :
Fatwa MUI
|
B.
Pengertian
Asuransi Syariah dan Perbedaannya Dengan Asuransi Konvensional
1.
Pengertian
Asuransi Syariah
Asuransi
Syariah (Takaful) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong antara
sejumlah orang atau tabarru’ yang memberikan pola pengambilan untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. Asuransi
syariah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada suransi syariah setiap
peserta sejak awal beraksud saling tolong menolong dan melindungi satu dengan
yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut
tabbaru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan risiko dimana
tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian resiko
dimana tertanggung harus membayar premi, premi merupakan pembagian resiko
dimana para peserta saling menanggung.
Premi
pada asuransi syariah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang
tediri atas Dana Tabungan dan tabarru’. Dana tabungan adalah titipan dari
peserta asuransi syariah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-mudharabah)
dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun . Dana tabungan
beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada peserta apabila yang
bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim manfaat asuransi. Sedangkan
tabarru’ adalah derma atau dana kebijakan yang diberikan dan diikhlaskan oleh
peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau
manfaat asuransi.
a. Prinsip Asuransi Syariah
Asuransi
syariah memiliki prinsip yang berbeda dengan lembaga konvensional . Prinsip
tersebut antara lain :
1. Saling
membantu dan bekerjasama “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebijakan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”(QS.Al-Maidah:2). “
2. Prinsip
tolong-menolong. Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting
dalam operasional asuransi syariah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi
syariah didasarkan pada prinsip Tabarru’. Dimana sesama peserta bertabarru’
atau berderma untuk kepentingan nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah
tidaklah berderma kepada perusahaan asuransi syariah, peserta berderma hanya
kepada sesama peserta saja. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai
pengelola saja. Konsekwensinya, perusahaan tidak berhak mengklaim atau
mengambil dana tabarru’ nasabah. Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas
pengelolaan dana tabarru’ tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan
dengan pembayaran kontribusi (premi).
Perusahaan
asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk diinvestasikan (secara
syariah) lalu kemudian dialokasikan pada nasabah lainnya yang tertimpa musibah.
Dan dengan konsep seperti ini, berarti antara sesama nasabah telah
mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak
saling bertatap muka.
3. Saling
melindungi dari berbagai macam kesusahan dan kesulitan. Seperti membiarkan uang
mengaggur dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat
umum. ‘Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu…” (QS. 4:29).
4. Prinsip Tauhid Tauhid merupakan prinsip dasar
dalam asuransi syariah. Karena pada haekekatnya setiap muslim harus melandasi
dirinya dengan tauhid dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya, tidak terkecuali
dalam bermuamalah. Artinya bahwa niatan dasar ketika berasuransi syariah
haruslah berlandaskan pada prinsip tauhid, mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Sebagai contoh dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam
berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan, atau menangkap
peluang pasar yang sedang cenderung pada syariah. Namun lebih dari itu, niatan
awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai syariah dalam dunia
asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syariah adalah bertujuan
untuk bertransaksi dalam bentuk tolong menolong yang berlandaskan asas syariah,
dan bukan semata-mata mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah.
b.
Produk Asuransi Syariah
Produk
asuransi syariah merupakan representasi dari kondisi “permintaan” masyarakat akan keberadaan suatu produk. Maka dengan
keadaan ini perlu dukungan dari berbagai elamen masyarakat untuk menjadikan
posisi asuransi syariah-dengan produk-produknya-semakin berarti dalam
pembangunan.
1. Produk Takaful Individu
Produk takaful individu dibagi dua jenis, yaitu produk
takaful individu tabungan dan produk takaful non-tabungan. Mekanisme kerja
kedua produk tersebut berbeda satu dengan yang lainnya, walaupun begitu
sistemnya tetap melarang keberadaan riba, gharar dan maysir.
1) Produk-Produk Tabungan
a. Takaful Dana
Investasi
b. Takaful Dana Haji
c. Takaful
Dana Siswa
d. Takaful Jabatan
2) Produk-Produk Non-Tabungan
a. Takaful al khairat
Individu
b. Takaful Kecelakaan
Diri Individu
c. Takaful Kesehatan Individu
B. Produk Takaful
Group
1. Takaful
Al Khairat dan Tabungan Haji
2. Takaful
Kecelakaan Siswa
3.
Takaful Wisata dan Perjalanan
4.
Takaful Kecelakaan Diri
5. Takaful
Majelis Taklim
6. Takaful
Pembiayaan
C. Takaful Umum
1. Takaful
Kebakaran
2. Takaful
Kendaraan Bermotor
3. Takaful
Rekayasa
4. Takaful
Pengangkutan
5. Takaful
Rangka Kapal
6. Asuransi
Takaful Aneka
2.
Pengertian
Asuransi Konvensional
a.
Ruang Lingkup Asuransi Konvensional
Pengertian Asuransi Secara bahasa
Kata asuransi berasal dari bahasa
Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda dipakai kata Verzekerring,
kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “Pertanggungan”.
Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung
dan geassureerde bagi tertanggung. Dari istilah Verzekerring timbullah
peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan Verzekerde bagi “tertanggung”.
Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata ta’min, “penanggung”
disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut dengan mu’ammin
lahu sering juga disebut dengan musta’min[1]
b.
Jenis-jenis
Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi
kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha
asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah usaha
jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi
asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang
tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".
Sedangkan dalam Pasal 2 huruf (b)
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa
aktuaria."
Dalam Pasal 3 huruf (a)
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis,
yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat,
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang
tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan
jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan
jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi
Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Apabila badan hukum yang menjalankan
usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan
Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang
No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan
Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu
berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun
1992 Tentang Perkoperasian.[2]
Setiap pihak yang melakukan usaha
perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi
perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat
(1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang
menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara
program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwa
pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk
melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk
dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi Badan Usaha Milik Negara
yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai:
Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang
perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk
mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2)
Undang-undang No. 2 Tahun 1992)Yang dimaksud dengan keahlian di bidang
perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang
aktuari, underwriting, manajemen
risiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan
usaha perasuransian yang dijelaskan.
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat
adalah siapa pemilik dari asuransi
tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.
Asuransi Milik Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya
dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia
2.
Asuransi Milik Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya
sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga siapa yang paling banyak
memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam rapat umum pemegang saham
(RUPS)
3.
Asuransi Milik Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini
biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan
jelas kepemilikannya dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing
4.
Asuransi Milik Campuran
Merupakan jenis asuransi yang
sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing[3]
c.
Bentuk
Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha
peransuransian diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha
peransuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.
Perusahaan Perseroan (PERSERO)
2.
Koperasi
3.
Perseroan Terbatas
4.
Usaha Bersama (mutual)
B. Kontrak
Asuransi Konvensional
1. Definisi Kontrak Asuransi
Banyak definisi mengenai asuransi.
Salah satu yang populer adalah asuransi ialah subsitusi suatu biaya kecil
tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak tertentu.
Dari pandangan hukum, kontrak dengan
mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai yang dikenal sebagai premi,
memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab yang menimpa pihak lain,
sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk mendistribusikan risiko tersebut,
adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau nama yang dipakainya. Banyak kontrak
yang sepintas lalu tampak seperti tampak asuransi, tetapi jika diteliti menurut
definisi ini ternyata tidak memenuhi syarat.[4]
C. Pandangan
Ulama tentang Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia
Muslim, Makkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern
termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan
tetapi Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif" yang tegak
di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al
halal wa al-Haram fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi
konvensional a.l: (1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu
dengan maksud tabarru, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2)
karena badan asuransi memutar uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan Islam
(Persis) melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional.
Demikian pula Muhammadiyah di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang
mengandung unsur gharar dan judi, kecuali asuransi yang
diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena
banyak mengandung maslahah maka dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah secara
mendalam, maka sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para ulama
disebabkan karena asuransi itu mencakup tiga hal:[5]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional adanya gharar
atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya.
Apakah Aqd Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd Takafuli (tolong
menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp.
1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada
tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini
berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad yang
melandasinya adalah Aqd Takafuli atau tolong menolong. Sehingga sejak
awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5%
diniatkan untuk tabarru. Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6
juta di atas tidak garar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan
tabarru (derma)
2. Maisir (Judi atau )
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan
sangat tegas telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah
SWT. adalah:
a. يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ
وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.[6]
Dalam Asuransi konvensional maisir
timbul dalam dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program
premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu.
Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode,
dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah +
20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter atau
yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka
perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan
akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si
penerima polis sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila
karena suatu hal ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena
Takaful dalam hal ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan
mencapai kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja
sebagai keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang
premi/nasabah.
3. Riba (Tambahan Uang dari
Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan seluruh dananya ke
Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau Perbankan Islam
lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang
pendapat dikalangan ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang
mengharamkan, paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
b.
- ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي
من الربوا ان كنتم مؤمنين.فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم
رءوس اموالكم لاتظلمونولاتظلمون.[7]
-Hadis Nabi S.A.W:
c. -
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه.[8]
Terlepas dari silang pendapat di
atas, Syarikat Takaful mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik
adalah menjauhi syubhat, menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali
kepada ajaran agama.
Beberapa
perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional:
Perbedaan Takaful Dengan
Asuransi Konvensional
Hasil Kajian para
cendikiawan muslim dan pakar ekonomi mengenai takaful dan asuransi konvensional
antara lain :
1.
Oprasional asuransi takaful berasaskan
ajaran islam, seperti menghilangkan unsure-unsur yang diharamkan. Sedangkan
asuransi konvensional tidak berasaskan syariat sehingga oprasionalnya
perusahaan tidak dapat terhindar dari unsure yang dilarang oleh islam, seperti
unsure al-qharar, al-maisir dan al-riba.
2.
Dari sudut kontrak, kontrak takaful adalah
didasari atas prinsip al-takaful dan al-mudharabah, sedangkan kontrak asuransi
konvensional adalah sebuah kontrak berdasarkan kepada perniagaan atau jual beli
semata.
3.
Takaful mengamalkan system
jamin-menjamin,kerjasama dan saling bantu-membantu berlandaskan konsep tabarru
diantara para peserta, sedangkan asuransi konvensional tidak ada pengalaman
tabarru’ hanya perjanjian ganti kerugian oleh perusahaan asuransi.
4.
Dalam takaful investasi dana berasaskan
kepada system bagi hasil( al-mudharabah), sedangkan dalam asuransi konvensional
pelaburan dana berasaskan bunga.
3.
Mekanisme
Oprasional Asuransi Syariah
System asuransi islam
takaful memiliki dua mekanisme utama yang merupakan prinsip dasar operasi
perusahaan takaful yaitu asas al-mudharabah dan asas tabarru’. Dengan adanya
kedua prinsip dasar ini menjadikan system asuransi takaful itu dapat selaras
dengan hukum
syariat.
Manfaat takaful pada sistem yang
mengandung Unsur Tabungan, jika peserta ditakdirkan meninggal dunia dalam masa
perjanjian, maka ahli warisnya akan memperoleh:
·
Dana rekening tabungan yang telah disetor
·
Bagian keuntungan atas hasil investasi Mudharabah dari rekening tabungan
·
Selisih dari manfaat takaful awal (rencana menabung) dengan premi yang
sudah dibayar
Bila peserta mengundurkan diri
sebelum perjanjian berakhir, maka peserta akan memperoleh:
·
Dana rekening tabungan yang disetor
·
Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
Bila peserta hidup sampai dengan perjanjian
berakhir, maka peserta akan memperoleh:
·
Dana rekening tabungan yang telah disetor
·
Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
Manfaat takaful pada sistem tanpa
unsur tabungan
·
Bila peserta ditakdirkan meninggal dalam masa perjanjian, maka ahli
warisnya akan mendapatkan dana santunan meninggal dari perusahaan, sesuai
dengan jumlah yang direncanakan peserta
·
Bila peserta hidup sampai perjanjian beakhir, maka peserta akan mendapatkan
bagian keuntungan atas rekening tabarru’
yang ditentukan oleh rekening perusahaan
4.
Akad-Akad
dalam Asuransi Syariah
a.
Akad
(Perjanjian)
Akad dalam
asuransi syariah harus sesuai dengan syariah Islam yakni akad yang tidak
mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
Ketentuan-ketentuan akad asuransi syariah telah diatur oleh Dewan Syariah
Nasional.
Akad Asuransi Syariah
1.
Akad Tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Akad
tijarah dapat berupa akad wakalah bil ujrah (perwakilan), akad mudharabah
(bagi hasil), dan akad mudharabah musytarakah.
2.
Akad Wakalah bil Ujrah yaitu akad
tijarah yang memberi kuasa kepada perusahaan asuransi syariah sebagai wakil
peserta untuk mengelola dana tabarru dan dana investasi dengan imbalan
berupa ujrah (fee).
3.
Akad Mudharabah yaitu akad tijarah
yang memberika kuasa kepada perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana tabarru
dan dana investasi peserta dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah)
yang besarnya disepakati sebelumnya.
4.
Akad Mudharabah
Musytarakah yaitu akad tijarah yang memberika kuasa kepada
perusahaan asuransi syariah untuk mengelola dana tabarru dan dana
investasi peserta, yang digabungkan dengan kekayaan perusahaan asuransi
syariah, dengan mendapatkan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang
besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah
disepakati sebelumnya.
5.
Akad Tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan
tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Dalam akad tabarru harus
disebutkan:
- Kesepakatan para peserta untuk saling tolong-menolong (ta’awun)
- Hak dan kewajiban peserta (baik individu maupun kelompok) dan perusahaan;
- Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
- Ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh peserta.
- Ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplus Underwriting
Kedudukan Para Pihak dalam Akad
Tijarah dan Tabarru
- Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
- Dalam akad tabarru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Penggunaan Dana Tabarru
Perusahaan asuransi syariah dalam
menggunakan dana tabarru hanya untuk keperluan yang berkaitan dengan:
- pembayaran santunan kepada peserta yang mengalami musibah atau pihak lain yang berhak;
- pembayaran reasuransi;
- pembayaran kembali dana pinjaman dari perusahaan lainnya (Qardh); atau
- pengembalian kembali Dana Tabarru sebagai akibat pembatalan polis oleh peserta dalam periode yang diperkenankan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut UU no.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkn diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan,
atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pada dasarnya, asuransi dapat memberikan manfaat bagi pihak tertanggung,
antara lain dapat memberikan rasa aman dan perlindungan, sebagai
pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil, polis asuransi dapat
dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit, sebagai tabungan dan sumber
pendapatan, sebagai alat penyebaran risiko, serta dapat membantu meningkatkan
kegiatan usaha.
Seiring perkembangan program syariah di berbagai lembaga keuangan, dalam
usaha perasuransian pun juga terdapat asuransi syariah. Asuransi syariah
merupakan sebuah sistem dimana para partisipan/ anggota/ peserta mendonasikan/
menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk
membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/
anggota/ peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan
operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/ kontribusi yang
diterima/ dilimpahkan kepada perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung
: Mizan, 1994)
-Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi,
alih bahasa A. Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981),
-Syamsul Anwar, Asuransi Islam,
(Yogjakarta: Fakultas Syari’ah, 2002)
-Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai
Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal 'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996)
-Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
-A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet.
III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002),
-Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap
Asuransi Konvensional,
-http//www.takaful.com/whitepaper/whitepaper.html.,
-Q.SAl-Maidah (5): 90
-Q.SAl-Baqarah (2): 278-279
-Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana
Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih
riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug
al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt),
[1]
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 205-206.
[2]
Ibid., hlm. 26.
[3]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[4]
A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara,
2002), hl. 101
[5]
Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap Asuransi Konvensional, http//www.takaful.com/whitepaper/whitepaper.html.,
hlm. 32-33
[6]
Q. S Al-Maidah (5): 90
[7]
Q. S Al-Baqarah (2): 278-279
[8]
Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah”
(Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat
juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug al-Maram (Surabaya:
al-Hidayah, tt), hlm.169
Terimakasih atas infonya.
BalasHapusUntuk tutorial ujian LSPP AAMAI, silakan kunjungi
http://www.akademiasuransi.org untuk info lebih lanjut.
walaupun asuransi syariah didasarkan atas prinsip syariat islam, pada prakteknya berlaku secara universal, terbuka untuk agama apapuyn.
BalasHapusasuransi unit link