Jumat, 16 Desember 2016

PROFIT AND LOS SHARING (BAGI HASIL) MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH



FAKULTAS AGAMA ISLAM-MANAJEMEN PERBANKAN SYARIAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PROFIT AND LOS SHARING (BAGI HASIL) MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH

ABSTRAK
Kerjasama dalam  bentuk  pembiayaan  mudharabah  dan musyarakahini pasti memberikan keuntungan bagi pihak bank dan nasabah. Pendapatan dari pembiayaan investasi dan modal kerja ini akan digunakan untuk pengembalian modal bank. Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikanmudharabah dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah danmusyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesama manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan.
Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan. Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan.
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi hasil.
Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikanmudharabah dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud musyarakah dan mudharabah?
2.      Perbedaan musyarakah dan mudharabah?
3.      Aplikasi musyarakah dan mudharabah dalam perbankan syariah?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Keharaman bunga dalam syariah membawa konsekuensi adanya penghapusan bunga secara mut- lak. Teori PLS dibangun sebagai tawaran baru di luar sistem bunga   yang cenderung tidak mencerminkan keadilan (injustice/dzalim) karena memberikan dis- kriminasi terhadap pembagian resiko maupun untung bagi para pelaku ekonomi (Sadeq, 1992). Principles of Islamic finance di bangun atas dasar larangan riba, larangan gharar, tuntunan bisnis halal, resiko bisnis ditanggung bersama, dan transaksi ekonomi berlan- daskan pada pertimbangan memenuhi rasa keadilan (Alsadek,  et  al.,  2006).  Profit-loss sharing  berarti keuntungan dan atau kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan ekonomi/bisnis ditanggung bersama- sama. Dalam atribut nisbah bagi hasil tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana bunga, tetapi dilakukan profit and loss sharing berdasarkan produktifitas nyata dari produk tersebut (Adiwarman Karim, 2001).
Dalam perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (disebut nisbah bagi hasil) dalam ukuran persentase atas kemungkinan ha- sil produktifitas nyata. Nilai nominal bagi hasil yang nyata-nyata diterima, baru dapat diketahui setelah ha- sil pemanfaatan dana tersebut benar-benar telah ada (ex post phenomenon, bukan ex ente). Nisbah bagi ha- sil ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang bekerja sama. Besarnya nisbah biasanya akan di- pengaruhi oleh pertimbangan kontribusi masing-mas- ing pihak dalam bekerja sama (share and partnership) dan prospek perolehan keuntungan (expected return) serta tingkat resiko yang mungkin terjadi (expected risk) (Hendri Anto, 2003).[1]

B.     BAGI HASIL (AL-MUSYARAKAH)
1.      Pengertian al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2] Skema  model musyarakah menunjukkan ma- sing-masing pihak memberikan kontribusi dalam pemodalan. Mereka sepakat untuk melakukan profit- loss sharing. Formula menentukan nisbah bagi hasil dapat dijelaskan sebagai berikut:
a         Nisbah  bagi  hasil  di  antara  partner  ditentukan berdasarkan porsi masing-masing  dalam permo- dalan. Bila ada dua orang melakukan musyarakah dengan menyetor modal masing-masing 50%, maka nisbah bagi hasilnya juga 50 : 50. Pendapat ini banyak dianut kalangan madzhab Syafi’i dan Maliki.
b        Nisbah bagi hasil di antara partner ditentukan atas pertimbangan kontribusi dalam organisasi dan kewirausahaan. Dalam skema ini memungkinkan seseorang mendapatkan porsi bagi hasil lebih be- sar atau lebih kecil dari porsi kontribusinya dalam permodalan. Hal ini karena memiliki kontribusi lebih besar atau lebih kecil dalam organisasi dan kewirausahaan. Pendapat ini banyak dianut ka- langan madzhab Hambali dan Hanafi.[3]
2.      Jenis-jenis al-Musyarakah
Al-musyarakah ada dua jenis: musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilihan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan dari aset tersebut.
Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan diman dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyrakah. Mereka pun sepakat berbagai keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi: al-inan, al-mufawadah, al-amaal, al-wujuh.
a.       Syirkah al-inan
Syirkah al-inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.[4]
b.      Syirkah Mufawadoh
Syirkah Mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan bebang utang dibagi oleh masing-masingpihak.[5]
c.       Syirkah A’maal
Al-musyarakah ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerja sama dua orang penjahit untuk untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor. Al-musyarakah abdan atau sanaa’i.[6]
d.      Syirkah wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra [7] jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang.
3.      Aplikasi dalam Pembiayaan Musyarakah  
      Sebuah usaha dagang membutuhkan modal bernilai Rp 500.000.000. Usaha dimaksud, 3 (tiga) orang  berserikat bermohon ke Bank syariah  untuk mendapatkan modal pembiayaan. Ketiga orang dimaksud, disetujui oleh pihak Bank. Dua orang mendapat pembiayaan masing-masing sehingga menyetor modal Rp 200.000.000 dan seorang lagi mndapat pembiayaan sehingga menyetor uang Rp 100.000.000. Uang dimaksud dijadikan modal untuk berdagang beras. Hasil dagangan dimaksud, selama 6 (enam) bulan mendapatkan keuntungan Rp 10..000.000. Hasil keuntungan dimaksud, dibagi berdasarkan forsi modal, yaitu 2 (dua) orang masing-masing mendapat keuntungan Rp 2.000.000 dan seorang lagi mendapat keuntungan Rp 1.000.000; sedangkan pihak bank (shahibul mal) mendapatkan keuntungan Rp 5.000.000 berdasarkan kesepakatan antara pihak Bank dengan pihak pengelola dana (mudharib).[8]

C.     BAGI HASIL (MUDHARABAH)
1.      Pengertian al-Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20)[9]. Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.[10]  
Al mudharabah adalah kerjasama anatara dua orang dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian sipengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalalaian pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (Antonio 2001).[11]

2.      Jenis-Jenis mudharabah
a.        Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah Mutlaqah, yaitu pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). Misalnya Mudharib membuka warung Tegal dan bisa juga membuka warung padang atau usaha lainnya
b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah  adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha[12]
3.      Aplikasi dalam Perbankan
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :
a         Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban,.
b        special investment, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :
a         Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;
b        Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal (bank)[13]

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnyamusyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing)
Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-malselama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib,  sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Susana, Erni dan Prasetyanti, Annisa. pelaksanaan dan system bagi hasil pembiayaan al mudharabah pada bank syariah, Jurnal keuangan dan perbankan, vol. 15 no. 3 september 2011, hal.466-478.
Yahya, Muchlis dan Yusuf Agunggunanto,Edy. Teori Bagi Hasil (Profit And Loss Sharing) Dan Perbbankan Syariah Dalam Ekonomi Syariah, Diterima 4 Mei 2011/Disetujui 14 Juni 2011.


[1] Muchlis Yahya dan Edy Yusuf Agunggunanto, TEORI BAGI HASIL (PROFIT AND LOSS SHARING) DAN PERBBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI SYARIAH
[2] Bidayatul Mujtahid II, hln, 253-257
[3] Opcit, Muchlis Yahya dan Edy Yusuf Agunggunanto, TEORI BAGI HASIL (PROFIT AND LOSS SHARING) DAN PERBBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI SYARIAH
[4] Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, mughni wa Syarh Kabir (Beirut: Darul-Fikr, 1997), Cetakan IV, vol. V, hlm. 3881
[5] Al-Mabsuth, vol XI, hlm 203 dan sesudahnya Abu Bakar Ibn Mas’ud al-kasani al-Badai wassana fi Tartib ash-sharai, (Beirut:Darul Kitab al-Arabi) edisi ke 2 vol VI hlm 72 
[6] Rad al-Mukhtar, Vol. II, hlm. 372
[7] Beberapa ulama membahas mudharabah secara tersendiri dan memisahkannya dari bab “Syirkah”.Lihat al-kamal Ibnul-Humam, Fathul-Qadir (Pakistan:maktanah ar-Rashidiyyah): dan Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Rusyd, Bidayatul Mujtihad wsa nihayatul muqtasyid (Beirut: Darul-Qalam, 1988) 
[8] Zulkifli Zainudin MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
[9] Kata mudharabah pada ayat tersebut merupakan dalil yang bersifat dhanni ad-Dalalah karena mempunyai makna lebih dari satu, yaitu bisa berarti bertani, berdagang dan sebaginya. Lihat H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Amzah, 2010), hal 121
[10] Sayyid Sabiq, Fiqhussunah, III (Bairut: Darul Fikri Athob’ah Arrabi’ah,1983), hal 212
[11] Erni susana dan Anisa prasetyani, pelaksanaan dan system bagi hasil pembiayaan al mudharabah pada bank syariah
[12] Ibid, Muhammad Syafii Antonio, hal. 97
[13] Ibid

1 komentar:

Jual Beli Valuta (Mata Uang/Forex) Dalam Islam

 Valuta adalah suatu jenis perdagangan atau transaksi yang memperdagangkan mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lainnya (pasang...