FAKULTAS AGAMA ISLAM-MANAJEMEN
PERBANKAN SYARIAH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
PROFIT AND LOS SHARING (BAGI HASIL) MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH
ABSTRAK
Kerjasama dalam
bentuk pembiayaan mudharabah dan musyarakahini
pasti memberikan keuntungan
bagi pihak bank dan nasabah. Pendapatan dari
pembiayaan investasi dan modal kerja ini akan digunakan untuk pengembalian
modal bank. Mudharabah dan musyarakah
atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah
dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari
sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikanmudharabah
dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang
diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan
musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum
Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat Crone, Kazarian
dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang
berdasarkan atas konsep mudharabah danmusyarakah berjalan berdampingan dengan
konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi.
Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba (bunga)
dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss
sharing).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya
riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar
individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesama manusia; kedua, riba
menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja
keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba
adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar
mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan.
Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan
Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba
tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan;
kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam
profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang
antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan
orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan
keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas
Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah
masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan. Keadilan dalam konteks ini
memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi
harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat
ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam
Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik
tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya
sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional
berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga
pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba
sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga bank bukan
termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba
termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak
dilakukan.
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan
perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya (equity
financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka
perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi hasil.
Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal
dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang
direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah
ini penulis berusaha mendiskripsikanmudharabah dan musyarakah serta
implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud musyarakah dan mudharabah?
2. Perbedaan
musyarakah dan mudharabah?
3. Aplikasi
musyarakah dan mudharabah dalam perbankan syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Keharaman bunga dalam syariah membawa konsekuensi
adanya penghapusan bunga secara mut- lak. Teori PLS dibangun sebagai tawaran
baru di luar sistem bunga yang
cenderung tidak mencerminkan keadilan (injustice/dzalim) karena memberikan dis-
kriminasi terhadap pembagian resiko maupun untung bagi para pelaku ekonomi
(Sadeq, 1992). Principles of Islamic finance di bangun atas dasar larangan
riba, larangan gharar, tuntunan bisnis halal, resiko bisnis ditanggung bersama,
dan transaksi ekonomi berlan- daskan pada pertimbangan memenuhi rasa keadilan
(Alsadek, et al.,
2006). Profit-loss sharing berarti keuntungan dan atau kerugian yang
mungkin timbul dari kegiatan ekonomi/bisnis ditanggung bersama- sama. Dalam
atribut nisbah bagi hasil tidak terdapat suatu fixed and certain return
sebagaimana bunga, tetapi dilakukan profit and loss sharing berdasarkan
produktifitas nyata dari produk tersebut (Adiwarman Karim, 2001).
Dalam
perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (disebut
nisbah bagi hasil) dalam ukuran
persentase atas kemungkinan ha- sil produktifitas
nyata. Nilai nominal bagi hasil yang
nyata-nyata diterima, baru dapat diketahui
setelah ha- sil pemanfaatan
dana tersebut benar-benar telah ada (ex post phenomenon, bukan ex ente). Nisbah bagi ha- sil
ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-pihak yang bekerja
sama. Besarnya nisbah
biasanya akan di- pengaruhi oleh pertimbangan kontribusi masing-mas- ing pihak dalam
bekerja sama (share and partnership)
dan prospek perolehan keuntungan (expected return) serta tingkat resiko yang mungkin
terjadi (expected risk) (Hendri
Anto, 2003).[1]
B. BAGI
HASIL (AL-MUSYARAKAH)
1. Pengertian
al-musyarakah
Al-musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[2] Skema model musyarakah menunjukkan ma- sing-masing
pihak memberikan kontribusi dalam pemodalan. Mereka sepakat untuk melakukan
profit- loss sharing. Formula menentukan nisbah bagi hasil dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a
Nisbah
bagi hasil di
antara partner ditentukan berdasarkan porsi
masing-masing dalam permo- dalan. Bila
ada dua orang melakukan musyarakah dengan menyetor modal masing-masing 50%,
maka nisbah bagi hasilnya juga 50 : 50. Pendapat ini banyak dianut kalangan
madzhab Syafi’i dan Maliki.
b
Nisbah bagi hasil di antara partner
ditentukan atas pertimbangan kontribusi dalam organisasi dan kewirausahaan.
Dalam skema ini memungkinkan seseorang mendapatkan porsi bagi hasil lebih be-
sar atau lebih kecil dari porsi kontribusinya dalam permodalan. Hal ini karena
memiliki kontribusi lebih besar atau lebih kecil dalam organisasi dan kewirausahaan.
Pendapat ini banyak dianut ka- langan madzhab Hambali dan Hanafi.[3]
2. Jenis-jenis al-Musyarakah
Al-musyarakah
ada dua jenis: musyarakah pemilikan dan
musyarakah akad (kontrak). Musyarakah
pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang
mengakibatkan pemilihan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan
berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan dari aset tersebut.
Musyarakah
akad tercipta dengan cara kesepakatan diman dua orang atau lebih setuju bahwa
tiap orang dari mereka memberikan modal musyrakah. Mereka pun sepakat berbagai
keuntungan dan kerugian.
Musyarakah
akad terbagi menjadi: al-inan, al-mufawadah, al-amaal, al-wujuh.
a. Syirkah al-inan
Syirkah al-inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi dalam kerja.
Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati
di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana
maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan
kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis al-musyarakah ini.[4]
b. Syirkah Mufawadoh
Syirkah Mufawadah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih.
Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpatisipasi
dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan
demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini adalah kesamaan dana yang
diberikan, kerja, tanggung jawab, dan bebang utang dibagi oleh
masing-masingpihak.[5]
c. Syirkah
A’maal
Al-musyarakah
ini adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama
dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerja sama dua orang
penjahit untuk untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.
Al-musyarakah abdan atau sanaa’i.[6]
d. Syirkah wujuh
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua
orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam
bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual
barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian
berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra [7]
jenis al-musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit
berdasarkan pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut
sebagai musyarakah piutang.
3.
Aplikasi dalam Pembiayaan Musyarakah
Sebuah
usaha dagang membutuhkan modal bernilai Rp 500.000.000. Usaha dimaksud, 3
(tiga) orang berserikat bermohon ke Bank
syariah untuk mendapatkan modal
pembiayaan. Ketiga orang dimaksud, disetujui oleh pihak Bank. Dua orang
mendapat pembiayaan masing-masing sehingga menyetor modal Rp 200.000.000 dan
seorang lagi mndapat pembiayaan sehingga menyetor uang Rp 100.000.000. Uang
dimaksud dijadikan modal untuk berdagang beras. Hasil dagangan dimaksud, selama
6 (enam) bulan mendapatkan keuntungan Rp 10..000.000. Hasil keuntungan
dimaksud, dibagi berdasarkan forsi modal, yaitu 2 (dua) orang masing-masing
mendapat keuntungan Rp 2.000.000 dan seorang lagi mendapat keuntungan Rp
1.000.000; sedangkan pihak bank (shahibul
mal) mendapatkan keuntungan Rp 5.000.000 berdasarkan kesepakatan antara
pihak Bank dengan pihak pengelola dana (mudharib).[8]
C. BAGI
HASIL (MUDHARABAH)
1. Pengertian
al-Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil
ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
(QS Al-Muzzammil : 20)[9]. Mudharabah
disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena
pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia
berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara
kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain
supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai
dengan ketentuan yang disepakati.[10]
Al
mudharabah adalah kerjasama anatara dua orang dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola. Keuntungan usaha dibagi
menurut kesepakatan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian sipengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalalaian
pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. (Antonio
2001).[11]
2.
Jenis-Jenis mudharabah
a.
Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah
Mutlaqah, yaitu pemilik modal (shahibul
maal)
memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang
dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab
untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang
sehat (uruf). Misalnya Mudharib
membuka warung Tegal dan bisa juga membuka warung padang atau usaha lainnya
b.
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah
restricted mudharabah/specified mudharabah
adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha
(mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya
batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib
al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha[12]
3.
Aplikasi dalam Perbankan
Mudharabah biasanya diterapkan pada
produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah
diterapkan pada :
a
Tabungan berjangka, tabungan yang
dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban,.
b
special investment, dimana dana yang
dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau
ijarah saja.
Adapun
pada sisi pembiayaan, mudharabah
diterapkan untuk :
a
Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan
modal kerja perdagangan dan jasa;
b
Investasi khusus, disebut juga dengan
mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus
dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal (bank)[13]
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah
dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnyamusyarakah tidak jauh berbeda dengan
mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua
belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian
(akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan
kerugian (profit and loss sharing)
Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan
pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan
seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah
pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam manajemen
mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk
apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan,
sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen;
ketiga, dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad
yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai
dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh
sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi
keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian
ditanggung oleh shahib al-malselama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh
kelalaian dari pihak mudharib, sedang
dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: dari
Teori ke Praktek, Jakarta, Gema Insani Press, 2015.
Susana,
Erni dan Prasetyanti, Annisa. pelaksanaan
dan system bagi hasil pembiayaan al mudharabah pada bank syariah, Jurnal
keuangan dan perbankan, vol. 15 no. 3 september 2011, hal.466-478.
Yahya,
Muchlis dan Yusuf Agunggunanto,Edy. Teori
Bagi Hasil (Profit And Loss Sharing) Dan Perbbankan Syariah Dalam Ekonomi
Syariah, Diterima 4 Mei 2011/Disetujui 14 Juni 2011.
[1]
Muchlis Yahya dan Edy Yusuf Agunggunanto,
TEORI BAGI HASIL (PROFIT AND LOSS SHARING) DAN PERBBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI
SYARIAH
[3] Opcit, Muchlis Yahya dan Edy Yusuf Agunggunanto, TEORI BAGI HASIL (PROFIT AND
LOSS SHARING) DAN PERBBANKAN SYARIAH DALAM EKONOMI SYARIAH
[4]
Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, mughni wa Syarh Kabir (Beirut: Darul-Fikr,
1997), Cetakan IV, vol. V, hlm. 3881
[5]
Al-Mabsuth, vol XI, hlm 203 dan sesudahnya Abu Bakar Ibn Mas’ud al-kasani
al-Badai wassana fi Tartib ash-sharai, (Beirut:Darul Kitab al-Arabi) edisi ke 2
vol VI hlm 72
[6] Rad al-Mukhtar, Vol. II, hlm. 372
[7] Beberapa ulama membahas mudharabah
secara tersendiri dan memisahkannya dari bab “Syirkah”.Lihat al-kamal
Ibnul-Humam, Fathul-Qadir (Pakistan:maktanah ar-Rashidiyyah): dan Muhammad Ibn
Ahmad Ibnu Muhammad Rusyd, Bidayatul Mujtihad wsa nihayatul muqtasyid (Beirut:
Darul-Qalam, 1988)
[8]
Zulkifli Zainudin MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH
[9]
Kata mudharabah pada ayat tersebut merupakan dalil yang bersifat dhanni ad-Dalalah karena mempunyai makna
lebih dari satu, yaitu bisa berarti bertani, berdagang dan sebaginya. Lihat H.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,
(Jakarta, Amzah, 2010), hal 121
[11]
Erni susana dan Anisa prasetyani, pelaksanaan dan system bagi hasil pembiayaan
al mudharabah pada bank syariah
[12] Ibid, Muhammad Syafii Antonio, hal. 97
[13]
Ibid
MANTEB!
BalasHapus